budakjrc

Minggu, 17 Oktober 2010

GIZI, MASYARAKAT BERKUALITAS DAN PENCAPAIAN TUJUAN MDGs

ICRP - KOLOM (http://www.icrp-online.org)
GIZI, MASYARAKAT BERKUALITAS DAN PENCAPAIAN TUJUAN MDGs - 27 Agustus 2007 - 10:26 (Diposting oleh: em)
Siti Musdah Mulia
Pendahuluan
Pertama-tama saya mengapresiasi panitia Anugerah Saparinah Sadli 2007 karena mengambil tema sangat strategis: Gizi, Masyarakat Berkualitas dan Pencapaian Tujuan MDGs. Mengapa tema ini penting? Paling tidak ada empat alasan.
Pertama, pemerintah pada tahun 2000 telah menyepakati Millenium Development Goals yang antara lain menegaskan perlunya negara memenuhi hak kesehatan warga. Sebab, salah satu indikasi masyarakat berkualitas terlihat dari tingkat kesehatannya. Bicara soal kesehatan, tidak bisa tidak harus dimulai dari perbaikan gizi masyarakat, khususnya pada anak balita. Karena itu, pencapaian MDGs hanya dimungkinkan manakala gizi masyarakat mengalami peningkatan kualitas.
Kedua, problem gizi buruk masyarakat adalah akumulasi dari berbagai persoalan sosial di masyarakat, seperti malnutrisi, korupsi, kemiskinan, pengangguran, pengalokasian dana yang tidak responsif gender, dan orientasi kebijakan pembangunan yang monokultur serta penataan konsumsi yang berorientasi pasar.
Ketiga, masalah gizi buruk masyarakat merupakan gambaran nyata dari pengabaian terhadap hak-hak perempuan. Masyarakat masih kuat dipengaruhi budaya patriarki dan nilai-nilai bias gender sehingga pengelolaan gizi anak sepenuhnya dibebankan pada ibu. Sebagian besar mereka tidak mengerti masalah gizi karena pemiskinan dan pembodohan, serta akibat ketimpangan struktural.
Keempat, di tengah-tengah berita Pilkada yang merebak di berbagai wilayah muncul fenomena yang paradoks. Para calon gubernur, bupati, walikota tanpa malu menyebutkan jumlah harta kekayaan mereka yang melimpah, sementara di depan mata ditayangkan gambar anak-anak penderita busung lapar. Hal ini menunjukkan betapa kesenjangan dan ketidakadilan telah terjadi di masyarakat. Situasi ini harus segera diakhiri agar tidak meletupkan keresahan sosial yang mendalam, dan boleh jadi membawa kepada revolusi sosial yang tidak diinginkan.
Jaringan Penanggulangan Busung Lapar
Persoalan rendahnya kualitas gizi masyarakat kembali mencuat di negara ini, setelah media massa nasional kembali membongkarnya dipertengahan tahun 2005 lalu. Sejak saat itu, kasus busung lapar menjadi sorotan publik, terutama busung lapar di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB) yang mempunyai ranking tinggi dibandingkan daerah-daerah lainnya. Pemberitaan yang gencar tentang kasus tersebut, memaksa pemerintah turun tangan dan menetapkan kasus busung lapar sebagai kejadian luar biasa (KLB). Akan tetapi, berita mengenai tragedi busung lapar ini kembali menjadi tragedi tersembunyi di balik peristiwa-peristiwa politik yang hingar bingar di pusat dan daerah. Berita ini kalah seksi dari berita-berita Pilkada yang menelan biaya mahal dan terjadi di berbagai wilayah republik ini.
Tahun 2005 sejumlah NGO yang peduli pada upaya-upaya penanggulangan busung lapar di tanah air secara spontan menggagas suatu jaringan yang disebut Jaringan Penanggulangan Busung Lapar. Jaringan ini muncul sebagai respon konkret terhadap meningkatnya kasus busung lapar atau gizi buruk, bahkan telah menjadi ancaman serius terhadap masa depan negeri ini. Data Departemen Kesehatan pada tahun 2004 menunjukkan, sekitar 5 juta anak balita terancam kekurangan gizi, 3,6 juta anak balita menderita kurang gizi dan 1,5 juta anak balita menderita gizi buruk. Data tersebut sejatinya hanyalah fenomena “Gunung Es.” Artinya, yang terjadi sesungguhnya jauh lebih parah dan lebih memprihatinkan.
Penderita gizi dapat dipolakan kepada dua kelompok: Penderita gizi kurang dan penderita gizi buruk yang lebih dikenal dengan sebutan busung lapar. Penderita gizi buruk mudah dikenali karena terlihat secara kasat mata dari kondisi tubuh anak: sakit, kurus, perut buncit atau badan membengkak, dan lemah. Sebaliknya, penderita gizi kurang tidak mudah diketahui atau dikenali oleh masyarakat umum. Akibatnya, meskipun jumlahnya lebih banyak, namun mereka kurang mendapatkan perhatian, baik dari kalangan pemerintah maupun masyarkat. Penderita gizi kurang sangat berpotensi menjadi penderita gizi buruk atau busung lapar, apabila tidak dilakukan upaya-upaya pemulihan dan pengobatan secara cepat dan tepat.
Jika problem gizi kurang dan gizi buruk tidak segera ditangani secara serius, bangsa ini akan kehilangan satu generasi atau bahkan lebih. Mengapa? Sebab, gizi buruk, terutama pada anak-anak usia balita, berdampak pada berkurangnya sel-sel otak. Akibatnya, meskipun penderita gizi buruk masih dapat bertahan hidup dan tumbuh menjadi dewasa, mereka tetap akan menderita kelemahan mental, terhambat pertumbuhan fisiknya dan rentan terhadap penyakit. Mereka dengan demikian akan menjadi apa yang disebut dengan “goblok permanen” dan kondisi ini tentu amat memprihatinkan. Sementara itu, keluarga dan masyarakat tidak dapat berbuat banyak.
Dengan ungkapan lain, anak-anak penderita kurang gizi yang menurun status gizinya menjadi penderita gizi buruk atau busung lapar, tidak akan bisa dipulihkan kembali menjadi anak yang tumbuh normal. Mereka akan menghadapi dua kemungkinan kondisi yang sama buruknya, yaitu: meninggal dunia atau bertahan hidup dalam kondisi lemah (retardasi) mental. Sebab gizi buruk atau busung lapar bersifat irreversible. Tak terbayangkan apa yang terjadi dengan masa depan negeri ini apabila 5 juta anak yang terancam kekurangan gizi itu tak terselamatkan dan jatuh dalam kondisi busung lapar. Indonesia akan menghadapi masalah hilangnya sebuah generasi atau bahkan akan kehilangan masa depannya sendiri.
Menghadapi persoalan rendahnya kualitas gizi masyarakat, kita tidak perlu mencari siapa yang harus bertanggungjawab atas masalah ini. Sebab, sikap demikian hanya mengulur waktu dan sia-sia, padahal kondisi yang memprihatinkan akibat busung lapar tidak bisa ditunda penanganannya. Masalah busung lapar harus menjadi perhatian bersama semua pihak baik masyarakat secara umum, pemerintah, tokoh-tokoh agama, LSM, profesional dan sebagainya. Pihak-pihak ini dalam kapasitasnya masing-masing harus mampu memberi peran yang signifikan dalam memerangi masalah busung lapar yang demikian nyata di hadapan kita.
Busung Lapar Merupakan Tragedi Nasional
Kelompok agamawan yang diorganisir oleh ICRP (Indonesian Conference on Religion for Peace) memandang masalah busung lapar sebagai masalah semua umat beragama. Sebab, bukankah musuh agama yang paling nyata adalah kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan kelaparan? Mereka menyatakan bahwa: meskipun kami berbeda dalam hal keyakinan, namun kami mempunyai kesamaan dalam hal kemanusiaan. Bagi kami busung lapar adalah tragedi kemanusiaan yang tidak lagi dilihat sebagai problem internal satu pemeluk agama saja. Busung lapar di negara Indonesia yang kaya-raya ini adalah tragedi yang memalukan. Bagi kelompok agamawan tragedi busung lapar ini adalah tamparan keras. Kami malu karena umat kami tidak bisa makan, miskin, dan tidak mendapat gizi yang baik. Kelompok agamawan mengakui bahwa pertanggungjawaban atas kesejahteraan umat adalah kewajiban yang juga harus diperjuangkan oleh kelompok-kelompok agama.
Tragedi busung lapar merupakan tragedi nasional. Karena itu, semua umat beragama, bahkan semua pihak hendaknya memberi prioritas khusus untuk segera menangani. Selanjutnya, kepada tokoh agama dan kelompok-kelompok agama dihimbau untuk bergandeng tangan mengatasi masalah busung lapar ini. Masalah busung lapar bukan lagi masalah umat dari kelompok tertentu saja, tetapi menjadi masalah bagi seluruh umat. Untuk itu, diserukan kepada kelompok agama agar melepaskan identitas-identitas keagamaan dalam menangani masalah busung lapar karena masalah umat adalah masalah kemanusiaan yang tidak terkait dengan identitas-identitas keagamaan.
Selain itu, kepada masyarakat dihimbau untuk meningkatkan rasa solidaritas bersama dan peduli dalam menangani masalah busung lapar. Dihimbau kepada masyarakat yang lebih mampu untuk mengulurkan tangannya dalam membantu saudara-saudara mereka yang tidak bisa mendapatkan gizi secara baik. Kemudian, kepada pemerintah diharapkan untuk mengeluarkan kebijakan strategis dan mendasar dalam menangani masalah busung lapar. Masalah busung lapar adalah representasi dari gagalnya pemerintah dalam menangani problem-problem masyarakat, khususnya kemiskinan. Jelas bahwa busung lapar pada umumnya terjadi akibat kemiskinan yang melanda masyarakat dan belum mendapat penyelesaian.
Kasus anak balita penderita gizi buruk atau busung lapar dan kematian dini akibat busung lapar yang banyak diberitakan di media massa, sebenarnya bukanlah kasus baru. Busung lapar telah mengancam jutaan anak-anak Indonesia di berbagai provinsi sejak tahun 1998. Jumlah dan keluasan anak-anak penderita gizi buruk menegaskan bahwa gizi buruk atau busung lapar adalah bencana nasional yang dampaknya tak kalah seriusnya dengan bencana-bencana nasional lainnya. Ironisnya, berbeda dengan penanganan bencana bususng lapar, berbagai bencana yang telah dinyatakan sebagai bencana nasional mendapat perhatian dan penanganan serius, baik dari pemerintah maupun seluruh komponen masyarakat. Pada setiap bencana nasional, berbagai sumberdaya, pengetahuan dan beragam bentuk solidaritas masyarakat dikerahkan untuk membantu para korban dan mencegah meluasnya jumlah korban. Ini terjadi karena apa yang disebut sebagai bencana nasional seringkali dikaitkan dengan jumlah korban yang bersifat massal dan dapat dilihat secara kasat mata. Sebaliknya, menghadapi bancana busung lapar, pemerintah dan masyarakat kurang memberikan perhatian.
Busung Lapar Cerminan Pengabaian Hak-Hak Perempuan
Masalah gizi kurang dan gizi buruk bukan hanya saja menjadi persoalan medis semata, tetapi juga merupakan masalah sosial yang krusial. Problem kemiskinan yang terus menerus mendera masyarakat berkorelasi positif dengan meningkatnya jumlah anak-anak penderita gizi. Sementara itu, tingkat solidaritas masyarakat terhadap masalah ini juga belum mendapat perhatian yang luas dan serius. Persoalan ini semakin memprihatinkan ketika pemerintah sebagai penanggungjawab atas kesejahteraan warganya tidak optimal dalam menangani masalah kesehatan dan pemenuhan gizi masyarakat, padahal tingkat kualitas kesehatan masyarakat merupakan indikator nyata dari kemajuan suatu negara. Selain itu, masalah gizi anak ini juga erat kaitannya dengan persoalan-persoalan riil di masyarakat, seperti perkawinan anak-anak (child marriage), perkawinan kontrak, perempuan buruh migran, pembantu rumah tangga, dan pengabaian hak-hak asasi perempuan.
Problem Ketidakadilan Gender
Anak dan perempuan merupakan kelompok rentan di masyarakat. Disebut rentan karena keduanya merupakan kelompok yang paling banyak menanggung resiko kematian karena alasan kesehatan. Anak-anak dan perempuan hamil atau melahirkan adalah kelompok masyarakat yang rentan terhadap penyakit dan kematian. Akibat kurang terjangkaunya pelayanan kesehatan ke seluruh desa dan kelurahan mempengaruhi besarnya angka kematian bayi dan angka kematian ibu melahirkan (AKI). Tingginya angka kematian ibu hamil dan melahirkan menegaskan adanya problem ketidakadilan gender dalam masyarakat yang berdampak pada masalah busung lapar. Dinas kesehatan di beberapa tempat menyatakan bahwa berdasarkan data anak-anak penderita busung lapar diketahui bahwa sebagian dari anak-anak penderita busung lapar adalah anak-anak dengan berat badan lahir (BBL) rendah. Anak-anak yang rendah berat badannya saat lahir mengindikasikan adanya problem asupan makanan dan gizi pada ibu-ibu hamil. Ini berarti bahwa hak atas kesehatan reproduksi bagi para ibu belum mendapatkan perlindungan dan pemenuhan sebagaimana mestinya.
Problem Rendahnya Kualitas Pendidikan Perempuan
Data-data yang ada menunjukkan secara jelas bahwa kondisi pendidikan orang tua anak balita penderita gizi kurang dan gizi buruk (busung lapar) sangat rendah. Mayoritas orang tua mereka berpendidikan SD ke bawah. Sementara lainnya tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Rendahnya tingkat pendidikan warga berdampak pada minimnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang masalah pangan, gizi dan kesehatan. Kondisi seperti ini berdampak pada sikap dan perilaku masyarakat, khususnya kelompok miskin, di dalam konsumsi pangan yang tidak memenuhi kecukupan gizi. Minimnya pendidikan juga merefleksikan minimnya pemenuhan hak atas informasi. Dengan tidak terpenuhinya hak atas informasi, bisa dimengerti kalau masalah gizi dan kesehatan menjadi masalah krusial bagi masyarakat yang tidak terdidik.
Problem Minimnya Akses Perempuan Terhadap Pelayanan Kesehatan dan Air Bersih
Kemiskinan yang ditandai oleh kualitas pendidikan yang rendah, kian diperburuk oleh minimnya pelayanan kesehatan dan sumber air bersih. Di beberapa wilayah terdata bahwa kelompok perempuan Demikian pula, penguasaan atas sumberdaya lahan, khususnya lahan pertanian sangat minim. Mayoritas keluarga dari anak-anak penderita gizi buruk dan busung lapar tidak memiliki lahan pertanian, baik lahan sawah maupun lahan kering. Ketiadaan lahan membuat mereka bergantung pada pasar dalam hal pengadaan pangan. Sementara penghasilan mereka tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin meningkat akibat kenaikan BBM. Kondisi ini melahirkan beragam masalah dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Kelompok perempuan tersingkirkan dari pengelolaan pertanian sejak revolusi hijau diterapkan secara luas dengan padi sebagai komoditi andalan, makanan pokok bergeser ke beras. Kini dengan naiknya harga BBM, harga beras semakin mahal, sementara mayoritas lahan pertanian adalah lahan kering, sehingga warga bergantung pada pasar untuk mendapatkan beras.
Minimnya ketersediaan air membuat perempuan harus berjalan berkilo-kilo meter dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk mendapatkan air bersih. Sementara pada saat yang sama, perempuan bertanggung jawab dalam mengurus anak-anak, menyediakan makan bagi keluarga, mengurus ternak, dan lain-lain tanggung jawab pekerjaan dalam rumah tangga. Ketiadaan air juga meningkatkan masalah serius dalam hal sanitasi dan kesehatan.
Solusi dan Rekomendasi
Agar masalah gizi kurang dan gizi buruk (busung lapar) tidak lagi menjadi masalah keseharian masyarakat di berbagai wilayah Indonesia, solusi dan sekaligus rekomendasi berikut patut dipertimbangkan:
Pertama, untuk Pemerintah Pusat.
Segera membangun sistem penanggulangan rawan pangan, gizi kurang dan gizi buruk atau busung lapar yang berorientasi pada pendekatan yang mengatasi akar masalah. Busung lapar bukanlah bencana alam yang bisa diatasi hanya dengan pendekatan emergency jangka pendek tanpa disertai perubahan-perubahan kebijakan yang berorientasi pada kebutuhan riil mayoritas rakyat. Pemerintah sudah semestinya menjalankan kewajiban yang diembannya untuk merumuskan dan menerapkan kebijakan strategis di tingkat nasional yang mengarah ke pengurangan tingkat kemiskinan secara signifikan dan berkelanjutan, pengembangan diversifikasi ekonomi melalui pengembangan industri kecil dan menengah, pemanfaatan dan pengembangan potensi dan sumberdaya lokal untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri dalam anggaran pemerintah, dan penghentian praktek korupsi di segala lini dan kejahatan sistematis lainnya.
Selain itu, sangat perlu meningkatkan orientasi pembangunan pada peningkatan akses masyarakat atas pelayanan dasar dan sumberdaya ekonomi, dengan menjalankan sepenuhnya kebijakan untuk mengalokasikan minimal 20% anggaran pembangunan untuk pendidikan dan 15% anggaran pembangunan untuk kesehatan. Perbaikan dalam sistem penganggaran (budgeting) dengan memperhatikan partisipasi kelompok-kelompok marjinal, khususnya kelompok miskin dan kelompok perempuan. Sistem budgetting juga memperhatikan ketepatan waktu perencanaan dan realisasi alokasi anggaran. Mengembangkan potensi lokal untuk meningkatkan ketersediaan dan akses masyarakat atas pangan, dengan kebijakan pangan yang secara strategis mengembangkan potensi lahan kering dan konservasi lahan kritis. Melakukan sosialisasi berbagai kebijakan yang terkait dengan penghapusan ketidakadilan gender pada seluruh jajaran pemerintahan dan berbagai kelompok strategis di daerah.
Kedua, untuk Pemerintah Daerah.
Segera merumuskan dan melaksanakan sistem penanganan masalah gizi buruk dan rawan pangan dengan berangkat dari akar masalah. Konsep ini diterjemahkan dalam pendekatan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Pendekatan emergency tetap diperlukan, namun dijalankan secara lebih cepat dan sampai pada sasaran. Penanganan dengan pendekatan emergency tanpa disertai dengan pendekatan yang mengatasi akar masalah hanya akan memboroskan sumberdaya, memperbesar peluang penyelewengan atau korupsi.
Kemudian, Pemda diharapkan secara serius dan terus-menerus melakukan sosialisasi di seluruh jajaran pemerintahan dan menerapkan secara luas kebijakan yang terkait dengan upaya penghapusan ketidakadilan gender di segala bidang kehidupan. Mengeliminasi terjadinya perkawinan anak-anak, perkawinan kontrak, perkawinan tanpa pencatatan. Mewujudkan pemenuhan dan penegakan hak-hak asasi perempuan, terutama berkaitan dengan hak atas informasi kesehatan reproduksi, Memperbaiki pelayanan KB dangan meningkatkan jumlah akseptor laki-laki.
Tidak kurang pentingnya, Pemerintah Daerah segera memperbaiki kelemahan atas pelaksanaan kebijakan otonomi daerah, khususnya di bidang pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan. Menyelesaikan kasus-kasus korupsi, membangun sistem pengawasan yang efektif dengan memperluas demokratisasi dan akuntabilitas kekuasaan. Memperbaiki sistem penganggaran (budgeting) dengan memperhatikan partisipasi kelompok-kelompok marjinal, khususnya kelompok miskin dan kelompok perempuan. Mengembangkan program kesehatan lingkungan untuk mengurangi intensitas wabah penyakit, seperti malaria, TBC, diare, ISPA, campak. Ini diperlukan karena penyakit merupakan salah satu faktor penyebab berkembangnya busung lapar di sejumlah daerah. Juga sangat perlu merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang mengarah ke pemerataan pembangunan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Di antaranya berupa kebijakan pengembangan usaha tani lahan kering; perluasan diversifikasi pangan; pengembangan diversifikasi usaha ekonomi untuk memperluas kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan; peningkatan alokasi anggaran untuk meningkatkan akses kelompok miskin terhadap pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan; serta perluasan upaya konservasi lahan kritis.
Hal lain perlu dilakukan, segera meningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dengan lebih mendekatkan prasarana pelayanan ke komunitas-komunitas miskin atau menerapkan sistem pelayanan keliling (mobile), meningkatkan aktivitas petugas kesehatan dan posyandu, mengefektifkan kembali fungsi posyandu untuk monitoring atau deteksi dini, memenuhi hak ekonomi petugas kesehatan. Program revitalisasi posyandu tidak akan berjalan efektif tanpa peningkatan akses masyarakat atas posyandu dengan lebih mendekatkan posyandu ke komunitas-komunitas atau menerapkan sistem pelayanan keliling.
Last but not least, segera memperluas ketersediaan dan akses masyarakat atas sumberdaya air, baik air bersih maupun air untuk kegiatan di sektor pertanian. Perluasan ketersediaan air bisa dilakukan, di antaranya dengan memperbanyak pembangunan sumur, memperbanyak pembangunan jebakan air, memperbaiki dan memperluas sarana irigasi.
Walahu a’lam bi al-shawab.
Disampaikan pada acara Anugerah Saparinah, tgl 24 Agustus 2007, di Jakarta.
Koordinator Jaringan Penanggulangan Busung Lapar Nasional.
Jaringan Busung Lapar adalah sebuah jaringan yang terbentuk secara secara spontan pada 28 Juni 2005 di Jakarta untuk merespon persoalan busung lapar secara nasional. Jaringan ini terdiri dari kalangan aktivis, agamawan, medis, seniman, budayawan, pekerja sosial, akademisi dan kelompok profesi yang peduli terhadap persoalan sosial bangsa, khususnya masalah busung lapar.

[ICRP ]

Kembali




ã 2003 Yuliana Posted 30 April, 2003
Term paper
Intoductory Science Philosophy (PPS702)
Graduate Program / S3
Institut Pertanian Bogor
April 2003

Instructors :
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng
Dr Bambang Purwantara





KAITAN PERTUMBUHAN EKONOMI, KEMISKINAN DAN STATUS GIZI


Oleh:
YULIANA
A 561024011

PENDAHULUAN
Krisis yang melanda perekonomian Indonesia pada pertengahan tahun 1997, bersamaan dengan kekeringan panjang, telah berpengaruh negatif terhadap kondisi makro ekonomi secara menyeluruh dan khususnya terhadap kesejahteraan penduduk. Jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dipercaya telah meningkat secara drastis karena dampak krisis tersebut. Data dan hasil Sensus mini Desember 1998 mengindikasikan suatu kenaikan besar pada insiden kemiskinan dari periode sebelum krisis (1996) ke keadaan akhir 1998.
Besarnya dampak krisis terhadap kemiskinan pada awalnya diperdebatkan antara berbagai metodologi pengukuran, khususnya untuk estimasi tahun 1998, masalah penting yang perlu ditelaah adalah proses dari pengaruh krisis terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Krisis dipercaya telah memperburuk insiden kemiskinan terutama melalui kenaikan drastis harga-harga kebutuhan pokok dan komoditi-komoditi lainnya karena depresiasi nilai rupiah yang sangat cepat antara paruh kedua tahun 1998. Kenaikan harga-harga ini khususnya terhadap barang-barang input produksi impor, telah menyebabkan kontraksi sektor-sektor riil (dan sektor formal secara umum). Situasi ini kemudian diikuti oleh menjamurnya insiden kebangkrutan dan kegagalan bisnis, khususnya yang tergantung pada sumber-sumber dan komponen dari luar negeri. Sebagai akibatnya, tekanan pada kesempatan kerja di sektor informal perkotaan menjadi semakin besar, permintaan atas barang-barang dan jasa-jasa melemah, dan tingkat produksi serta pendapatan dari pertanian di perdesaan cenderung menurun drastis (Irawan dan Romdiati, 2000).
Lebih lanjut Irawan dan Romdiati (2000) mengungkapkan bahwa semua faktor tersebut pada gilirannya mengakibatkan suatu penurunan yang drastis pada pendapatan dan daya beli dari mayoritas penduduk. Memahami proses dampak krisis seperti ini, memburuknya angka kemiskinan adalah konsekuensi logis. Proses “pemiskinan” ini melibatkan mereka yang sebelum krisis mempunyai tingkat kesejahteraan, seperti ditunjukkan oleh rata-rata pengeluaran per kapita, sedikit di atas garis kemiskinan. Kelompok penduduk ini sering diistilahkan sebagai near poor yang mempunyai tingkat kesejahteraan sangat rawan terhadap perubahan sumber penghasilan dan tingkat pendapatan mereka serta terhadap gejolak harga-harga kebutuhan pokok. Kondisi ini menyebabkan sebagian masyarakat tidak mampu mengakses pangan dan pada akhirnya berpengaruh terhadap keadaan gizi masyarakat yang dapat digambarkan secara nyata pada kelompok rawan gizi terutama anak balita (termasuk bayi) serta ibu hamil dan menyusui.
KONDISI PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA
Profesor Simon Kuznets, salah satu ekonom besar yang pernah memenangkan hadiah Nobel dibidang ekonomi pada tahun 1971 atas usahanya mempelopori pengukuran dan analisis atas sejarah pertumbuhan pendapatan nasional negara-negara maju, telah memberikan suatu definisi mengenai pertumbuhan ekonomi (economic growth) suatu negara. Menurut Kuznets, pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan) dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada (Todaro, 2000).
Pertumbuhan ekonomi dalam pengertian ekonomi makro adalah penambahan produk domestik bruto (PDB), yang berarti peningkatan pendapatan nasional (Julianery, 2002). Petumbuhan ekonomi ada dua bentuk: extensively yaitu dengan penggunaan banyak sumberdaya (seperti fisik, manusia atau natural capital) atau intensively yaitu dengan penggunaan sejumlah sumberdaya yang lebih efisien (lebih produktif). Ketika pertumbuhan ekonomi dicapai dengan menggunakan banyak tenaga kerja, hal tersebut tidak menghasilkan pertumbuhan pendapatan per kapita. Namun ketika pertumbuhan ekonomi dicapai melalui penggunaan sumberdaya yang lebih produktif, termasuk tenaga kerja, hal tersebut menghasilkan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dan meningkatkan standar hidup rata-rata masyarakat.
Kondisi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun 1986 sampai akhir tahun 1996 dalam kondisi cukup baik. Keadaan rupiah stabil dengan depresiasi antara tiga dan empat persen. Kondisi nilai tukar yang relatif stabil ini membawa pertumbuhan ekonomi negeri ini berkisar antara tujuh dan delapan persen per tahun (Gambar 1). Memasuki tahun 1997 para pengamat ekonomi optimis perekonomian Indonesia akan tumbuh pesat. Bank Dunia meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesisa sekitar 8,2%. Patokan angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya yang mencapai 7,82%. Julianery (2002) mengungkapkan bahwa dari dalam negeri, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI) memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi turun menjadi 7,36%. Kemudian lembaga ini melakukan proyeksi lain dan menghitung pertumbuhan ekonomi hanya akan mencapai 6,4%.













Gambar 1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (%) 1980 - 2003

Kebenaran ramalan angka pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan tersebut tidak terbukti dan tidak satupun yang menghitung angka pertumbuhan ekonomi di tahun 1997 setepat 4,70%. Semua asumsi tertolak sebab tidak ada yang mengira nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika akan jatuh. Pada tanggal 11 Juli 1997 nilai rupiah menjadi Rp 2.430 setelah di tahun 1996 berada di tingkat Rp2.383. Sampai akhir tahun 1997 keadaan rupiah tidak stabil, sebentar naik dan tak lama kemudian turun lagi, akhirnya rupiah ditutup pada nilai Rp 4.650. Nilai rupiah yang tidak bisa dikendalikan itu menyulitkan seluruh aktivitas ekonomi.
Indonesia memasuki tahun 1998 dalam kondisi ekonomi yang sulit dan inflasi yang melambung menjadi 11,05. Pergantian kepala pemerintahan dari Suharto ke B.J. Habibie, pada tanggal 21 Mei 1998 tidak cukup kuat menahan jatuhnya rupiah. Di tahun tersebut rupiah mengalami depresiasi hampir 80 % dan inflasi melonjak menjadi 77.63%. Kondisi ini mengakibatkan hampir seluruh kegiatan ekonomi terhenti dan laju pertumbuhan ekonomi berada pada –13,13%. Salah satu sektor produksi yang mengalami kemerosotan paling dalam adalah industri pengolahan, yang sebelumnya dijadikan andalan ekspor nonmigas yang memiliki laju pertumbuhan per tahun sedikitnya 10%. Penyebab merosotnya industri pengolahan adalah rendahnya kemampuan belanja masyarakat dan kegiatan ekonomi yang lesu yang akhirnya mengakibatkan permintaan terhadap hasil produk ini berkurang. Disamping itu tingginya suku bunga pinjaman, dana kredit dari perbankan nasional yang terbatas dan harga bahan baku impor yang melonjak tinggi akibat dari rendahnya nilai rupiah serta penolakan bank-bank luar negeri terhadap surat pemberitahuan kredit dari bank nasional menghambat kegiatan industri. Pada akhirnya banyak perusahan yang harus tutup usaha dan mengakibatkan tingginya angka pemutusan hubungan kerja. Kondisi ini mengakibatkan sebagian besar masyarakat kehilangan pekerjaan dan pendapatan serta secara langsung meningkatkan jumlah penduduk miskin yang tidak mampu menjangkau kebutuhan pokoknya.
Meskipun belum lancar, kegiatan ekonomi mulai berjalan kembali di tahun 1999 dan hasilnya mulai menunjukkan pertumbuhan yang positif. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,79%. Ditahun ini inflasi turun menjadi 2,01% dan kurs menguat pada nilai Rp 7.100. Kegiatan perekonomian mulai bergerak lebih cepat di tahun 2000, sehingga meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi menjadi 4,90%. Namun pada tahun 2001, angka pertumbuhan ekonomi tersebut turun menjadi 3,32% dan sekarang (tahun 2003) pertumbuhan ekonomi sekitar 3,4%. Kurs rupiah yang turun menjadi Rp 10.400 turut berpengaruh terhadap turunnya pertumbuhan masing-masing lapangan usaha.
PERKEMBANGAN INSIDEN KEMISKINAN
Pengkajian berdasarkan data Susenas menunjukkan peningkatan jumlah penduduk miskin dari 22,5 juta jiwa tahun 1996 menjadi 49,5 juta tahun 1998. Pada tahun 1999, jumlah penduduk miskin sebesar 37,5 juta jiwa. Tingkat kemiskinan di perkotaan meningkat dari 12% tahun 1996 menjadi 26% tahun 1998. Namun demikian jumlah penduduk miskin terbesar tetap berada di pedesaan, yaitu diperkirakan sebesar 32 juta jiwa pada tahun 1998 dan 25 juta jiwa pada tahun 1999 (Tabor, Soekirman dan Martianto, 2000).
Lebih jauh, kenaikan substansial pada kemiskinan absolut pada periode Februari 1996–Desember 1998 dalam kenyataannya juga berkaitan dengan perubahan drastis pada garis kemiskinan baik di perkotaan maupun di pedesaan. Dibandingkan tahun 1996, garis kemiskinan pada tahun 1998 meningkat sekitar 153,5% (dari Rp38.246 menjadi Rp96.959/kapita/bulan) dan 165,5% (dari Rp27.413 menjadi Rp72.780/kapita/bulan) masing-masing di perkotaan dan di pedesaan. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai nominal dari pengeluaran yang dibayar oleh seseorang per bulan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya pada Desember 1998 telah berlipat lebih dari dua kali dibandingkan nilai pada Februari 1996. Besarnya kenaikan garis kemiskinan tersebut konsisten dengan meroketnya harga-harga, khususnya komoditi makanan pada periode yang sama, dan sebagian kenaikan karena pendefinisian kembali pada paket non-makanan dalam garis kemiskinan. Dari Februari 1996 ke Desember 1998, tingkat inflasi dilaporkan sebesar 98,64% untuk indek umum, dan 148,6% untuk kelompok makanan (Irawan dan Romdiati, 2000).
Angka kemiskinan yang diukur dengan head-count ratio, di Jawa Barat cenderung lebih tinggi dari pada di Sumatera, tetapi angka tertinggi terdapat di wilayah lain khususnya Indonesia bagian timur. Dengan menggunakan standar 1998, angka kemiskinan di Jawa-Bali meningkat 17,3 persen pada 1996 menjadi 24,2 persen pada Desember 1998, dibandingkan dengan angka di Sumatera yang meningkat 14,2 persen menjadi 17,4 persen, dan di pulau lainnya yang meningkat dari 22,6 persen menjadi 32,0 persen pada periode yang sama (BPS, 2000). Dilihat dari perkembangan jumlah penduduk miskin secara absolut, daerah perkotaan di ketiga wilayah ini menunjukkan peningkatan yang lebih besar selama periode tersebut dibandingkan dengan yang terjadi di daerah pedesaan. Di Jawa-Bali, jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 80 persen di perkotaan, dibanding 27 persen di pedesaan, selama 1996-Desember 1998. Peningkatan di Sumatera tercatat lebih kecil yaitu 64 persen dan 18 persen, sedangkan di pulau-pulau lainnya kenaikan adalah 116,7 persen dan 37,8 persen di masing-masing daerah perkotaan dan pedesaan selama periode yang sama. Temuan ini mengindikasikan bahwa dampak krisis ekonomi terhadap peningkatan insiden kemiskinan terlihat lebih besar di perkotaan dari pada di pedesaan, terutama di wilayah perkotaan Indonesia bagian timur dan Jawa-Bali. Hal ini diduga karena ketergantungan pada sektor formal dan tingkat kenaikan harga-harga lebih tinggi di perkotaan dari pada di pesedaan, sehingga penduduk kota lebih cepat merasakan dampak krisis. Di samping itu daerah pedesaan terutama di Sumatera dan beberapa provinsi di Sulawesi yang banyak mengandalkan tanaman perkebunan untuk ekspor, diperkirakan justru menikmati dampak positif akibat kenaikan kurs dollar (Raharto dan Romdiati, 2000).

STATUS GIZI PENDUDUK INDONESIA
Status gizi merupakan salah satu determinan utama status kesehatan penduduk. Salah satu indikator status gizi penduduk yang rendah adalah tingginya prevalensi gizi kurang dan gizi buruk pada anak bawah lima tahun (balita) yang didasarkan pada berat badan menurut umur (BB/U). Menurut Jahari dkk (2000), prevalensi gizi kurang pada anak balita (usia 0 – 59 bulan) secara nasional menurun dari 36,2% di tahun 1989 menjadi 29,8% di tahun 1995 dengan kecepatan penurunan 1,0% per tahun, dan turun lagi dari 29,8% di tahun 1995 menjadi 28,3% di tahun 1998 dengan kecepatan penurunan 0,5% per tahun. Selanjutnya dari tahun 1998 ke tahun 1999 prevalensi gizi kurang turun dari 28,3% menjadi 25,4% dengan kecepatan penurunan 2,9% per tahun (Gambar 2). Penurunan prevalensi gizi kurang dari tahun 1999-2000 kembali kecil yaitu dari 25,4% menjadi 24,7% atau penurunan sebesar 0,7% (Jahari dan Sumarno, 2002). Penurunan prevalensi gizi kurang tersebut dijumpai baik di daerah kota maupun desa. Penurunan prevalensi gizi kurang yang kecil dari tahun 1995 ke tahun 1998 tidak seperti yang diharapkan karena prevalensi gizi kurang di Indonesia masih tergolong tinggi. Bila kecepatan penurunan prevalensi dipertahankan 1,0% per tahun seperti yang terjadi antara tahun 1989 dan tahun 1995, maka prevalensi gizi kurang yang diharapkan tahun 1998 adalah sebesar 26,8%. Perbedaan antara prevalensi yang ditemukan (28,3%) dan yang diharapkan (25,8%) pada tahun 1998 tersebut memberikan indikasi tentang adanya masalah gizi.


Sumber : Susenas 2000
Gambar 2. Prevalensi gizi kurang ( < -2.0 SD z_BBU) pada anak umur 0-56 bulan menurut daerah dan tahun

Prevalensi gizi kurang di Indonesia pada tahun 1998 masih lebih tinggi dari prevalensi gizi kurang di negara-negara tetangga (Malaysia, Philippina, dan Thailand) yang besarnya sekitar 20% pada tahun yang sama. Lebih lanjut, prevalensi gizi kurang pada tahun 2000 masih tergolong tinggi dari target penurunan menjadi 18% pada akhir 2000.
Menurut data Susenas (2001) prevalensi gizi kurang sedikit berbeda dari yang dikemukakan oleh Jahari dkk (2000). Data gizi kurang menurun dari 31,2%; 28,3%; 20,0%; 19,0% dan 18,3% berturut-turut dari dari tahun 1989; 1992; 1995; 1998 dan 1999. Tetapi untuk kasus gizi buruk terjadi peningkatan pada tahun 1989 dari 6,3% menjadi 11,4% tahun 1995 (Gambar 3).

Sumber : Susenas 1989 - 1999
Gambar 3. Prevalensi Gizi Kurang (BBR) dan Gizi Buruk (BBSR) pada Anak Balita

Masalah gizi memiliki etiologi yang sangat komplek, tidak saja dipengaruhi oleh intake zat gizi dan keadaan kesehatan individu tetapi juga berkaitan erat dengan dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat. Oleh karena itu meningkatnya prevalensi gizi buruk yang diikuti dengan menurunnya prevalensi gizi kurang tingkat ringan memberikan indikasi makin melebarnya kesenjangan keadaan ekonomi antara masyarakat miskin dan masyarakat kaya.


KAITAN PERTUMBUHAN EKONOMI, KEMISKINAN DAN STATUS GIZI


Selama periode pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, jumlah penduduk miskin di Indonesia menurun dengan pesat dari sekitar 54,2 juta orang (40,1% terhadap total penduduk) pada tahun 1976 menjadi 22,5 juta orang (11,3%) pada tahun 1996. Akan tetapi, pencapaian atas penurunan kemiskinan ini terimbas oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1997. Bersamaan dengan meningkatnya harga-harga dan penurunan rata-rata pendapatan karena dampak krisis, laju pertumbuhan ekonomi menurun drastis menjadi –13,13% pada tahun 1998 dibandingkan 7,82% pada tahun 1996. Jumlah penduduk miskin mencapai sekitar 49,5 juta orang (24,23%) pada Desember 1998, atau suatu kenaikan absolut sebesar 27 juta orang dibandingkan dengan kondisi tahun 1996 (22,5 juta orang).
Irawan dan Romdiati (2000) mengemukakan bahwa krisis ekonomi yang dilihat dari menurunnya laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia telah menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk miskin, melalui beberapa mekanisme yang kesemuanya menyebabkan penurunan drastis pada pendapatan dan daya beli dari mayoritas penduduk, khususnya golongan bawah. Menurunnya pendapatan secara negatif berdampak pada kualitas dan pola konsumsi rumah tangga. Dengan tingkat pendapatan yang sangat terbatas, banyak rumah tangga miskin terpaksa merubah pola makanan pokoknya ke barang paling kurang dengan jumlah yang berkurang. Sementara di beberapa kasus, seperti yang ditemukan oleh Irawan (1998), penurunan tajam pada pendapatan telah menyebabkan banyak rumah tangga menjadi sangat nestapa karena mereka mengalami kesulitan untuk membeli makanan, penurunan ini umumnya mengakibatkan berubahnya pola pengeluaran konsumsi dengan proporsi lebih besar untuk kebutuhan makanan dibandingkan untuk kebutuhan bukan makanan, seperti untuk kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Pada studi lainnya, Irawan (1999) juga menemukan bahwa mayoritas penduduk pedesaan cenderung merubah pola konsumsi makanan, baik kualitas maupun kuantitas, seperti dari nasi ke jagung atau umbi-umbian, dan dari sebanyak 3 kali ke 1 atau 2 kali makan sehari.
Adanya keterkaitan status gizi dan pembangunan ekonomi juga dikemukakan oleh Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan dalam Soekirman, 2000. Dalam salah satu pidatonya dikatakan bahwa, “Gizi yang baik dapat merubah kehidupan anak, meningkatkan pertumbuhan fisik dan perkembangan mental, melindungi kesehatannya dan meletakkan pondasi untuk masa depan produktivitas anak”. Pernyataan ini memperkuat hasil riset para pakar gizi dan kesehatan mengenai adanya kaitan antara pangan, gizi, kesehatan dan pembangunan ekonomi. Mekanisme hubungan tersebut digambarkan secara sederhana oleh Martorell (1998) yang terlihat pada Gambar 4. Terjadinya perbaikan ekonomi maka akan mengurangi kemiskinan dan selanjutnya akan meningkatkan status gizi serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan produktivitas.

















Gambar 4. Keterkaitan antara Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Status Gizi (Martorell, 1998)

PENUTUP
Sejalan dengan mulai terjadinya pertumbuhan ekonomi yang positif yang ditandai dengan stabilnya harga-harga komoditi dasar, jumlah penduduk miskin pada Februari 1999 diperkirakan sedikit menurun menjadi sekitar 48,4 juta orang (23,55% dari total penduduk), diikuti dengan suatu penurunan tajam yaitu sekitar 37,5 juta orang pada Agustus 1999. Hal ini berarti bahwa terdapat suatu pengurangan sebesar 12 juta orang miskin selama periode Desember 1998 – Agustus 1999. Baik di perkotan maupun di pedesaan, jumlah penduduk miskin juga menurun drastis pada Agustus 1999, yaitu masing-masing mencapai 12,4 juta orang (15,09%) dan 25,1 juta orang (20,22%). Standar minimum untuk kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang dipergunakan dalam pendefinisian garis kemiskinan untuk data Februati dan Agustus 1999 adalah sama dengan yang diaplikasikan pada data Desember 1998. Oleh karena itu, penurunan sebesar 12 juta orang miskin selama periode Desember 1998 – Agustus 1999 hampir pasti dipengaruhi oleh deflasi harga-harga, khususnya komoditi makanan, yang mencapai –5,58 persen selama periode tersebut. Angka inflasi untuk komoditi bukan makanan cenderung untuk menurun sejak Maret 1999, dan mencapai kurang dari 3 persen selama periode yang sama. Sementara angka inflasi/deflasi seperti yang diukur dengan perubahan indek harga konsumen (CPI) mewakili perubahan harga-harga di perkotaan, indek harga konsumen yang dibayar oleh petani untuk konsumsi rumah tangga dapat merefleksikan perubahan harga-harga di pedesaan. Indek ini dari 14 provinsi yang dicakup secara rata-rata mengalami suatu penurunan sebesar 5,82 persen selama periode Februari – Juli 1999.
Satu hal perlu dicatat bahwa variasi regional pada angka kemiskinan cenderung merefleksikan adanya perbedaan pembanguan sosial, tingkat dan pola pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan jumlah penduduk antar wilayah. Variasi juga mengindikasikan adanya perbedaan pada karakteristik kemiskinan, latar belakang sosial dan budaya, serta kemampuan wilayah untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dan untuk menghapuskan kemiskinan. Bagaimanapun perbedaan-perbedaan pada pembangunan sosial-budaya dan ekonomi ini tidak tampak dengan kentara pada insiden kemiskinan, khususnya antara Jawa-Bali dan luar Jawa-Bali (BPS dan UNDP, 1999). Memasuki era tahun 1990-an, Bank Dunia memberikan prioritas pinjaman kepada negara berkembang untuk melakukan investasi di bidang gizi melalui pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan.
DAFTAR PUSTAKA


BPS and UNDP (1999). Crisis, Poverty and Human Development in Indonesia 1998. BPS-UNDP, Jakarta.
BPS. 2000. Peta dan Pekembangan Tingkat Kemiskinan di Indonesia. Paper.
Irawan, P.B. and A. Susanto. 1999. Impact of the Economic Crisis on the Number of Poor People, paper dipresentasikan pada International Seminar on Agricultura Sector During the Turbulence of Economic Crisis: Lessons and Future Directions. The Centre for agro-Socioeconomic Research, Agency for Agricultural Research and Development of Agriculture, Bogor, 17 – 18 February 1999.
Irawan, P,B & H, Romdiati. 2000. Dampak Krisis Ekonomi terhadap Kemiskinan dan Beberapa Implikasinya untuk Strategi Pembangunan. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. LIPI, Jakarta.
Irawan, P.B. 1998. Analisis Studi Data Kualitatif: Hasil Survei Dampak Krisis Terhadap Ketahanan Ekonomi Rumahtangga di Pedesaan. Jakarta: BPS-UNDP, mimeo.
Irawan, P.B. 1999. Analisis Perkembangan dan Dimensi Kemiskinan. Jakarta: BPS-UNDP, mimeo.
Jahari, A.B. dan Sumarno. 2002. Status Gizi Penduduk Indonesia. Artikel dalam Majalah Pangan, Media Komunikasi dan Informasi. Puslitbang Bulog, Jakarta.
Jahari, A.B. Sandjaja, S. Herman, Soekirman, I. Jusat, F. Jalal, D. Latief dan Atmarita. 2000. Status Gizi Balita di Indonesia Sebelum dan Selama Krisis. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. LIPI, Jakarta.
Julianery, B.E. 2002. Produk Domestik Bruto. Makalah dalam Indonesia dalam Krisis 1997 – 2002. Kompas, Jakarta.
Martorell, R. 1998. Nutrition, Human Capital and National Economic Development. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. LIPI, Jakarta.
Raharto, A & H, Romdiati. 2000. Identifikasi Rumah Tangga Miskin. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. LIPI, Jakarta.
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Tabor, S. Soekirman dan D. Martianto. 2000. Keterkaitan antara Krisis Ekonomi, Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi. Widya karya Nasional Pangan dan Gizi VII. LIPI, Jakarta.
Todaro, M.P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. (Alih bahasa: Haris Munandar). Erlangga, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar