budakjrc

Rabu, 20 Oktober 2010

askep katarak

A. PENGERTIAN
Katarak merupakan keadaan dimana terjadi kekeruhan pada serabut atau bahan lensa di dalam kapsul mata. Katarak adalah suatu keadaan patologik lensa dimana lensa menjadi keruh akibat hidrasi cairan lensa, atau denaturasi protein lensa. Kekeruhan ini terjadi akibat gangguan metabolisme normal lensa yang dapat timbul pada berbagai usia tertentu. Katarak dapat terjadi pada saat perkembangan serat lensa masih berlangsung atau sesudah serat lensa berhenti dalam perkembangannya dan telah memulai proses degenerasi.


Katarak dapat diklasifikasikan dalam golongan berikut :
1.Katarak perkembangan (developmental) dan degeneratif,
2.Katarak congenital, juvenil, dan senile
3.Katarak komplikata
4.Katarak traumatic

Penyebab terjadinya kekeruhan lensa ini dapat :
1.Primer, berdasarkan gangguan perkembangan dan metabolisme dasar
2.Sekunder, akibat tindakan Pembedahan lensa
3.Komplikasi penyakit lokal ataupun umum

Berdasarkan usia pasien, katarak dapat dibagi dalam :
Katarak congenital, katarak yang terlihat pada usia dibawah 1 tahun
Katarak juvenil, katarak yang terlihat pada usia di atas 1 tahun dan di bawah 40 tahun.


Katarak presenil, yaitu katarak sesudah usia 30-40 tahun
Katarak senile, yaitu katarak yang mulai terjadi pada usia lebih dari 40 tahun.

B. ETIOLOGI
Penyebab utama katarak adalah proses penuaan . Anak dapat menderita katarak yang biasanya merupakan penyakit yng diturunkan, peradangan di dalam kehamilan, keadaan ini disebut sebagai katarak congenital.

Berbagai faktor dapat mengakibatkan tumbuhnya katarak lebih cepat. Faktor lain dapat mempengaruhi kecepatan berkembangnya kekeruhan lensa seperti DM, dan obat tertentu, sinar ultraviolet B dari cahaya matahari, efek racun dari rokok, dan alkoho, gizi kurang vitamin E, dan radang menahan di dalam bola mata. Obat yang dipergunakan untuk penyakit tertentu dapat mempercepat timbulnya katarak seperti betametason, klorokuin, klorpromazin, kortizon, ergotamin, indometasin, medrison, pilokarpin dan beberapa obat lainnya.

Penyakit infeksi tertentu dan penyakit seperti DM, dapat mengakibatkan timbulnya kekeruhan lensa yang akan menimbulkan katarak komplikata.
Cedera mata dapat mengenai semua umur seperti pukulan keras, tusukan benda, terpotong, panas yang tinggi, bahan Kimia, dapat merusak lensa mata dan keadaan ini di sebut sebagai katarak traumatic.

C. PATOFISIOLOGI
Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih, transparan, berbentuk kancing baju, mempunyai kekuatan refraksi yang besar. Lensa mengandung tiga komponen anatomis. Pada zona sentral terdapat nukleuas, di perifer ada korteks, dan yang mengelilingi keduanya adalah kapsul anterior dan posterior. Dengan bertambah usia, nucleus mengalami perubahan warna menjadi coklat kekuningan. Di sekitar opasitas terdapat densitas seperti duri di anterior dan posterior nucleus. Opasitas pada kapsul posterior merupakan bentuk katarak yang paling bermakna namapak seperti kristal salju pada jendela.

Perubahan fisik dan Kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparansi, perubahan pada serabut halus multiple (zunula) yang memanjang daari badan silier ke sekitar daerah di luar lensa Misalnya dapat menyebabkan penglihatan mengalami distorsi. Perubahan Kimia dalam protein lensa dapat menyebabkan koagulasi. Sehingga mengabutkan pandangan dengan menghambat jalannya cahaya ke retina. Salah satu teori menyebutkan terputusnya protein lensa normal terjadi disertai influks air ke dalam lensa. Proses ini mematahkan serabut lensa yang tegang dan mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan bahwa suatu enzim mempunyai peran dalam melindungi lensa dari degenerasi. Jumlah enzim akan menurun dengan bertambahnya usia darn tidak ada pada kebanyakan pasien yang menderita katarak.

Katarak biasanya terjadi bilateral, namun mempunyai kecepatan yang berbeda. Dapat disebabkan oleh kejadian trauma maupun sistematis, seperti DM, namun sebenarnya merupakan konsekuensi dari proses penuaan yang normal. Kebanyakan katarak berkembang secara kronik dan matang ketika orang memasuki decade ke tujuh. Katarak dapat bersifat congenital dan harus diidentifikasi awal, karena bila tidak didiagnosa dapat menyebabkan ambliopia dan kehilangan penglihatan permanen. Faktor yang paling sering yang berperan dalam terjadinya katarak meliputi radiasi sinar ultraviolet B, obat-obatan, alcohol, merokok, DM, dan asupan vitamin antioksidan yang kurang dalam jangka waktu lama.

D. MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS
Katarak didiagnosisterutama dengan gejala subjektif. Biasanyaaa, pasien melaporkan penurunan ketajaman penglihatan dan silau dan gangguan fungsional sampai derajat tertentu yang diakibatkan karena kehilangan penglihatan tadi. Temuan objektif biasanya meliputi pengembunan seperti mutiara keabuan pada pupil sehingga retina tak akan tampak pada oftalmoskop.

Ketika lensa sudah menjadi opak, cahaya akan dipendarkan dan bukannya ditransmisikan dengan tajam menjadi bayangan terfokus pada retina. Hasilnya adalah pandangan kabur atau redup, menyilaukan yang menjengkelkan dengan distorsi bayangan dan susah melihat di mlam hari. Pupil yang normalnya hitam akan tampak kekuningan abu-abu atau putih. Katarak biasanya terjadi bertahap selama bertahun-tahun dan ketika katarak sudah sangat memburuk lensa koreksi yang lebih kuat pun tak akan mampu memperbaiki penglihatan. Bisa melihat dekat pada pasien rabun dekat (hipermetropia), dan juga penglihatan perlahan-lahan berkurang dan tanpa rasa sakit.

Orang dengan katarak secara khas selalu mengembangkan strategi untuk menghindari silau yang menjengkelkan yang disebabkan oleh cahaya yang salah arah. Misalnya ada yang mengatur ulang perabot rumahnya sehingga sinar tidak akan langsung menyinari mata mereka. Ada yang mengenakan topi berkelapak lebar atau kacamata hitam dan menurunkan pelindung cahaya saat mengendarai mobil pada siang hari.

Seorang dokter mata akan memeriksa mata dengan berbagai alat untuk menentukan tipe, besar dan letaknya kekeruhan pada bagian lensa. Bagian dalam dari mata diperiksa dengan alat oftalmoskop, untuk menentukan apakah ada kelainan lain di mata yang mungkin juga merupakan penyebab berkurangnya pengliahatan.

Bila diketahui adanya gejala di atas sebaiknya segera diminta pendapat seorang dokter mata. Secara umum seseorang yang telah berusia 40 tahun sebaiknya mendapatkan pemeriksaan mata setiap 1 tahun.

E. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.Ketakutan atau ansietas berhubungan kurangnya pengetahuan.
Tujuan :
1.Menurunkan stres emosional, ketakutan dan depresi.
2.Penerimaan pembedahan dan pemahaman instruksi.
Intervensi :
1. Kaji derajat dan durasi gangguan visual. Dorong percakapan untuk mengetahui keprihatinan pasien, perasaan, dan tingkat pemahaman.
Rasional : Informasi dapat menghilangkan ketakutan yang tidak diketahui. Mekanisme koping dapat membantu pasien berkompromi dengan kegusara, ketakutan, depresi, tegang, keputusasaan, kemarahan, dan penolakan.

2.Orientasikan pasien pada lingkungan yang baru.
Rasional : Pengenalan terhadap lingkungan membantu mengurangi ansietas dan meningkatkan keamanan.

3.Menjelaskan rutinitas perioperatif.
Rasional : Pasien yang telah banyak mendapat informasi lebih mudah menerima penanganan dan mematuhi instruksi.

4.Menjelaskan intervensi sedetil-detilnya.
Rasional : Pasien yang mengalami gangguan visual bergantung pada masukan indera yang lain untik mendapatkan informasi.

5.Dorong untuk menjalankan kebiasaan hidup sehari-hari bila mampu.
Rasional : Perawatan diri dan kemandirian akan meningkatkan rasa sehat.

6.Dorong partisipasi keluarga atau orang yang berarti dalam perawatan pasien.
Rasional : Pasien mungkin tak mampu melakukan semua tugas sehubungan dengan penanganan dari perawatan diri.

7.Dorong partisipasi dalam aktivitas sosial dan pengalihan bila memungkinkan (pengunjung, radio, rekaman audio, TV, kerajinan tangan, permainan).
Rasional : Isolasi sosial dan waktu luang yang terlalu lama dapat menimbulkan perasaan negatif.

2. Resiko terhadap cedera berhubungan dengan pandangan kabur
Tujuan : Pencegahan cedera.
Intervensi :
1.Bantu pasien ketika mampu melakukan ambulasi pascaoperasi sampai stabil dan mencapai penglihatan dan keterampilan koping yang memadai, menggunakan teknik bimbingan penglihatan.
Rasional : Menurunkan resiko jatuh atau cedera ketika langkah sempoyongan atau tidak mempunyai keterampilan koping untuk kerusakan penglihatan.

2.Bantu pasien menata lingkungan.
Rasional : Memanfasilitasi kemandirian dan menurunkan resiko cedera.

3.Orientasikan pasien pada ruangan.
Rasional : Meningkatkan keamanan mobilitas dalam lingkungan.

4.Bahas perlunya penggunaan perisai metal atau kaca mata bila diperintahkan
Rasional : Tameng l;ogam atau kaca mata melindungi mata terhadap cedera.

5.Jangan memberikan tekanan pada mata yang terkena trauma.
Rasional : Tekanan pada mata dapat menyebabkan kerusakan serius lebih lanjut.

6.Gunakan prosedur yang memadai ketika memberikan obat mata.
Rasional : Cedera dapat terjadi bila wadah obat menyentuh mata.

3.Nyeri berhubungan dengan trauma insisi dan peningkatan TIO
Tujuan : Pengurangan nyeri dan TIO.
Intervensi :
1.Berikan obat untuk mengontrol nyeri dan TIO sesuai resep.
Rasional : Pemakaian sesuai resep akan Mengurangi nyeri dan TIO dan meningkatkan rasa nyaman.

2.Berikan kompres dingin sesuai permintaan untuk trauma tumpul.
Rasional : mengurangi edema akan mengurangi nyeri.

3.Kurangi tingkat pencayahaan
Rasional : Tingkat Pencahayaan yang lebih rendah lebih nyakan setelah Pembedahan.

4.Dorong penggunaan kaca mata hitam pada cahaya kuat.
Rasioanal : Cahaya yang kuat menyebabkan rasa tak nyaman setelah penggunaan tetes mata dilator.

4. Potensial terhadap kurang perawatan diri yang berhubungan dengan kerusakan penglihatan.
Tujuan : mampu memenuhi kebutuhan perawatan diri.
Inventensi :
1.Beri instruksi kepada pasien atau orang terdekat mengenal tanda atau gejala komplikasi yang harus dilaporkan segera kepada dokter.
Rasional : Penemuan dan penanganan awal komplikasi dapat mengurangi resiko kerusakan lebih lanjut.

2.Berikan instruksi lisan dan tertulis untuk pasien dan orang yang berati mengenal teknik yang benar memberikan obat.
Rasional : Pemakaian teknik yang benar akan mengurangi resiko infeksi dan cedera mata.

3.Evaluasi Perlunya bantuan setelah pemulangan.
Rasional : Sumber daya harus tersedia untuk layanan kesehatan, pendampingan dan teman di rumah.

4.Ajari pasien dan keluarga teknik panduan penglihatan.
Rasional : Memungkinkan tindakan yang aman dalam lingkungan.

5. Resiko tinggi terhadap Infeksi b.d trauma insisi
Tujuan : Komplikasi dapat dihindari atau segera dilaporkan kepada dokter.
Inventasi :
1.Jaga teknik aseptic ketat, lakukan cuci tangan sesering mungkin.
Rasional : Akan meminimalkan infeksi.

2.Awasi dan laporkan segera adanya tanda dan gejala komplikasi, misalnya : perdarahan, peningkatan TIO atau infeksi.
Rasional : Penemuan awal komplikasi dapat mengurangi resiko kehilangan penglihatan permanen.

3.Jelaskan posisi yang dianjurkan.
Rasional : Peninggian kepala dan menghindari berbaring pada sisi yang di operasi dapat mengurangi edema.

4.Instruksikan pasien mengenal pembatasan aktivitas tirah baring, dengan keleluasaan ke kamar mandi, peningkatan aktivitas bertahap sesuai toleransi.
Rasional : Pembatasan aktivitas diresepkan untuk mempercepat penyembuhan dan menghindari kerusakan lebih lanjut pada mata yang cedera.

5.Jelaskan tindakan yang harus dihindari, seperti yang diresepkan batuk, bersin, muntah (minta obat untuk itu).
Rasional : Dapat mengakibatkan komplikasi seperti prolaps vitreus atau dehisensi luka akibat peningkatan tegangan luka pada jahitan yang sangat halus.

6.Berikan obat sesuai resep, sesuai teknik yang diresepkan.
Rasional : Obat yang diberikan dengan cara yang tidak sesuai dengan resep dapat mengganggu penyembuhan atau menyebabkan komplikasi

http://botol-infus.blogspot.com/2009/04/askep-katarak.html

Minggu, 17 Oktober 2010

kemoterapi

KEMOTHERAPI

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sejak jaman dahulu dikenal beberapa cara pengobatan untuk menyembuhkan penyakit kanker. Cara paling tua adalah pembedahan, kemudian menyusul penyinaran terhadap sel-sel tumor ganas yang peka sinar gamma dan dengan perkembangan pengetahuan mengenai struktur, fungsi, proliferasi sel dan mekanisme regulasi didalamnya, pengobatan kimiawi pada tahun-tahun terakhir maju dengan pesat.
Sitostatika merupakan salah satu pengobatan kanker yang paling banyak menunjukkan kemajuan dalam pengobatan penderita kanker. Karena itu pula harapan dan tumpuan dunia medis terhadap efek pengobatan dengan sitostatika terus meningkat. Sejala dengan harapan tersebut upaya menyembuhkan atau sekurangnya mengecilkan ukuran kanker dengan sitostatika terus meluas.

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Sitostatika
Sitostatika adalah suatu pengobatan untuk mematikan sel – sel secara fraksional ( fraksi tertentu mati), sehingga 90 % berhasil daan 10 % tidak berhasil.
(Hanifa Wignjosastro, 1997)
B. Tujuan Pemberian Kemoterapi
? Meringankan gejala
? Mengontrol pertumbuhan sel- sel kanker

C. Cara Pemberian
Cara pemberian obat sitostatika dapat dilakukan secara :
1. PO : Per Oral
2. SC : Sub Cutan
3. IM : Intra Muscular
4. IV : Intra Vena
5. IT : Intra Thecal
6. IP : Intra Peritoneal / Pleural

• Pemilihan vena dan tempat penusukan
Pemilihan vena dan arteri yang tepat serta peralatan yang harus dipakai ditentukan oleh usia pasien, status vena dan obat yang diberikan melalui infus. Lakukan pemilihan vena diatas area yang lentur serta pemilihan iv cateter yang paling pendek dan ukurannya yang paling kecil yang sesuai. Vena yang sering digunakan adalah : Basillic, cephalica dan metakarpal. Tempat penusukan harus diganti setiap 72 jam dan vena yang cocok untuk penusukan terasa halus dan lembut, tidak keras dan menonjol serta memilih vena yang cukup lebar untuk tempat peralatan, media kemoterapi dapat membuat iritasi pada vena dan jarigan lunak.

D. Prosedur
1. a. Persiapan
• Sebelum diberikan kemoterapi maka harus dipersiapkan ukuran TB, BB, luas badan, darah lengkap, fungsi ginjal, fungsi liver, gula darah, urin lengkap, EKG, foto thorax AP/lateral, Ekokardiografi, BMP.
• Periksa protokol dan program terapi yang digunakan, serta waktu pemberian obat sebelumnya.
• Periksa nama pasien, dosis obat, jenis obat, cara pemberian obat.
• Periksa adanya inform concernt baik dari penderita maupun keluarga.
• Siapkan obat sitostatika
• Siapkan cairan NaCl 0,9 %, D5% atau intralit.
• Pengalas plastik, dengan kertas absorbsi atau kain diatasnya
• Gaun lengan panjang, masker, topi, kaca mata, sarung tangan, sepatu
• Spuit disposible 5cc, 10cc, 20 cc, 50 cc.
• Infus set dan vena kateter kecil
• Alkohol 70 % dengan kapas steril
• Bak spuit besar
• Label obat
• Plastik tempat pembuangan bekas
• Kardex (catatan khusus)

b. Cara kerja
Semua obat dicampur oleh staf farmasi yang ahli dibagian farmasi dengan memakai alat “biosafety laminary airflow” kemudian dikirim ke bangsal perawatan dalam tempat khusus tertutup. Diterima oleh perawat dengan catatan nama pasien, jenis obat, dosis obat dan jam pencampuran.
Bila tidak mempunyai biosafety laminary airflow maka, pencampuran dilakukan diruangan khusus yang tertutup dengan cara :

1.
Meja dialasi dengan pengalas plastik diatasnya ada kertas penyerap atau kain
2.
Pakai gaun lengan panjang, topi, masker, kaca mata, sepatu.
3.
Ambil obat sitostatika sesuai program, larutkan dengan NaCl 0,9%, D5% atau intralit.
4.
Sebelum membuka ampul pastikan bahwa cairan tersebut tidak berada pada puncak ampul. Gunakan kasa waktu membuka ampul agar tidak terjadi luka dan terkontaminasi dengan kulit. Pastikan bahwa obat yang diambil sudah cukup, dengan tidak mengambil 2 kali
5.
Keluarkan udara yang masih berada dalam spuit dengan menutupkan kapas atau kasa steril diujung jarum spuit.
6.
Masukkan perlahan-lahan obat kedalam flabot NaCl 0,9 % atau D5% dengan volume cairan yang telah ditentukan
7.
Jangan tumpah saat mencampur, menyiapkan dan saat memasukkan obat kedalam flabot atau botol infus.
8.
Buat label, nama pasien, jenis obat, tanggal, jam pemberian serta akhir pemberian atau dengan syringe pump.
9.
Masukkan kedalam kontainer yang telah disediakan.
10.
Masukkan sampah langsung ke kantong plastik, ikat dan beri tanda atau jarum bekas dimasukkan ke dalam tempat khusus untuk menghindari tusukan.

2. Prosedur cara pemberian kemoterapi
• Periksa pasien, jenis obat, dosis obat, jenis cairan, volume cairan, cara pemberian, waktu pemberian dan akhir pemberian.
• Pakai proteksi : gaun lengan panjang, topi, masker, kaca mata, sarung tangan dan sepatu.
• Lakukan tehnik aseptik dan antiseptik
• Pasang pengalas plastik yang dilapisi kertas absorbsi dibawah daerah tusukan infus
• Berikan anti mual ½ jam sebelum pemberian anti neoplastik (primperan, zofran, kitril secara intra vena)
• Lakukan aspirasi dengan NaCl 0,9 %
• Beri obat kanker secara perlahn-lahan (kalau perlu dengan syringe pump) sesuai program
• Bila selesai bilas kembali dengan NaCl 0,9%
• Semua alat yang sudah dipakai dimasukkan kedalam kantong plastik dan diikat serta diberi etiket.
• Buka gaun, topi, asker, kaca mata kemudian rendam dengan deterjen. Bila disposible masukkkan dalam kantong plasrtik kemudian diikat dan diberi etiket, kirim ke incinerator / bakaran.
• Catat semua prosedur
Awasi keadaan umum pasien, monitor tensi, nadi, RR tiap setengah jam dan awasi adanya tanda-tanda ekstravasasi.

E. Prinsip Kerja Kemoterapi
Prinsip kerja Kemoterapi adalah membunuh sel-sel yang cepat berkembang biak (terutama sel-sel kanker) dengan merusak atau mengganggu proses pembelahan sel.

F. Efek Samping Kemoterapi dan Penanganannya
Efek samping kemoterapi yang sering terjadi dan penanganannya:
1. Rambut rontok / menipis
Bersifat sementara. Rambut akan tumbuh kembali jika obat dihentikan.
2. Mual / muntah
Tetap berikan makan dalam porsi kecil tapi sering. Hindari makanan yang terlalu manis, berminyak/ berlemak dan permen. Biasanya diberikan obat anti muntah oleh dokter.
3. Sembelit
Berikan makanan tinggi serat, misal sayuran dan buah-buahan. Minum banyak. Biasanya jika lebih dari 3 hari tidak berak, akan diberikan obat oleh dokter.
4. Diare
Hindari makanan yang pedas / asam. Beri minum banyak dan makanan yang lunak. Jika mencret lebih dari 1 hari akan diberikan obat oleh dokter.
5. Stomatitis / sariawan / gomen
Pelihara kebersihan mulut. Gunakan sikat gigi yang lembut. Biasanya akan diberikan obat oles oleh dokter.
6. Penurunan daya tahan tubuh
Hindari sumber-sumber infeksi dengan menjauhkan anak dari orang yang sedang flu, sakit tenggorokan, cacar air, sakit kulit dan lain-lain. Pelihara kebersihan badan. Cuci tangan sebelum makan dan sebelum atau setelah menyentuh anak.
7. Perubahan kulit : kering, gatal
Jaga kebersihan kulit. Gunakan pelembab yang tidak mengandung alkohol. Pakai baju yang longgar.
G. Syarat pemberian obat Kemoterapi
Sebelum pengobatan dimulai beberapa kondisi pasien harus dipenuhi yaitu :
1. Keadaan umum harus cukup baik
2. Penderita mengerti pengobatan dan mengetahui efek samping yang akan terjadi
3. Faal ginjal ( kadar ureum < 40 mg % dan kadar kreatinin < 1,5 mg % ) dan faal hati baik 4. Diagnosis hispatologik diketahui 5. Jenis kanker diketahui sensitif terhadap kemoterapi 6. Hemoglobin > 10 gr %
7. Leucosit > 5000 / ml
8. Trombosit > 100.000 / ml


BAB III
PENUTUP

Sitostatika adalah suatu pengobatan untuk mematikan sel – sel secara fraksional ( fraksi tertentu mati), sehingga 90 % berhasil daan 10 % tidak berhasil.
Tujuan Pemberian Kemoterapi : Meringankan gejala, Mengontrol pertumbuhan sel- sel kanker
Cara pemberian obat sitostatika dapat dilakukan secara :
PO : Per Oral, SC : Sub Cutan, IM : Intra Muscular, IV : Intra Vena, IT : Intra Thecal, IP : Intra Peritoneal / Pleural
Prinsip kerja Kemoterapi adalah membunuh sel-sel yang cepat berkembang biak (terutama sel-sel kanker) dengan merusak atau mengganggu proses pembelahan sel.
Persiapan pencampuran obat memakai alat “biosafety laminary airflow” untuk menghindari adanya efek terhadap petugas yang mempersiapkan obat kemotherapi.
Efek samping kemoterapi yang sering terjadi adalah:
Rambut rontok / menipis, Mual / muntah, Sembelit, Diare, Stomatitis / sariawan / gomen, Penurunan daya tahan tubuh, Perubahan kulit : kering, gatal

DAFTAR PUSTAKA

1. Gale Daniele, Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi, EGC, Jakarta, 2000
2. Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001
3. R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC ; 1997
4. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001

AIDS

Wednesday, May 17, 2006
AIDS

Pengertian

* AIDS atauAcquired Immune Deficiency Sindrome merupakan kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh oleh vurus yang disebut HIV. Dalam bahasa Indonesia dapat dialih katakana sebagai Sindrome Cacat Kekebalan Tubuh Dapatan.

Acquired : Didapat, Bukan penyakit keturunan

Immune : Sistem kekebalan tubuh

Deficiency : Kekurangan

Syndrome : Kumpulan gejala-gejala penyakit

* Kerusakan progrwsif pada system kekebalan tubuh menyebabkan ODHA ( orang dengan HIV /AIDS ) amat rentan dan mudah terjangkit bermacam-macam penyakit. Serangan penyakit yang biasanya tidak berbahaya pun lama-kelamaan akan menyebabkan pasien sakit parah bahkan meninggal.
* AIDS adalah sekumpulan gejala yang menunjukkan kelemahan atau kerusakan daya tahan tubuh yang diakibatkan oleh factor luar ( bukan dibawa sejak lahir )
* AIDS diartikan sebagai bentuk paling erat dari keadaan sakit terus menerus yang berkaitan dengan infeksi Human Immunodefciency Virus ( HIV ). ( Suzane C. Smetzler dan Brenda G.Bare )
* AIDS diartikan sebagai bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dari kelainan ringan dalam respon imun tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga keadaan imunosupresi dan berkaitan dengan pelbagi infeksi yang dapat membawa kematian dan dengan kelainan malignitas yang jarang terjadi ( Center for Disease Control and Prevention )

2. Etiologi

AIDS disebabkan oleh virus yang mempunyai beberapa nama yaitu HTL II, LAV, RAV. Yang nama ilmiahnya disebut Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) yang berupa agen viral yang dikenal dengan retrovirus yang ditularkan oleh darah dan punya afinitas yang kuat terhadap limfosit T.

3. Patofisiologi

Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah sel-sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T 4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.

Dengan menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong.

Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.

Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan jamur oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.

4. Klasifikasi

Sejak 1 januari 1993, orang-orang dengan keadaan yang merupakan indicator AIDS (kategori C) dan orang yang termasuk didalam kategori A3 atau B3 dianggap menderita AIDS.

1. Kategori Klinis A

Mencakup satu atau lebih keadaan ini pada dewasa/remaja dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang sudah dapat dipastikan tanpa keadaan dalam kategori klinis B dan C

1. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang simptomatik.
2. Limpanodenopati generalisata yang persisten ( PGI : Persistent Generalized Limpanodenophaty )
3. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) primer akut dengan sakit yang menyertai atau riwayat infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang akut.

2. Kategori Klinis B

Contoh-contoh keadaan dalam kategori klinis B mencakup :

1. Angiomatosis Baksilaris
2. Kandidiasis Orofaring/ Vulvavaginal (peristen,frekuen / responnya jelek terhadap terapi
3. Displasia Serviks ( sedang / berat karsinoma serviks in situ )
4. Gejala konstitusional seperti panas ( 38,5o C ) atau diare lebih dari 1 bulan.
5. Leukoplakial yang berambut
6. Herpes Zoster yang meliputi 2 kejadian yang bebeda / terjadi pada lebih dari satu dermaton saraf.
7. Idiopatik Trombositopenik Purpura
8. Penyakit inflamasi pelvis, khusus dengan abses Tubo Varii

3. Kategori Klinis C

Contoh keadaan dalam kategori pada dewasa dan remaja mencakup :

1. Kandidiasis bronkus,trakea / paru-paru, esophagus
2. Kanker serviks inpasif
3. Koksidiomikosis ekstrapulmoner / diseminata
4. Kriptokokosis ekstrapulmoner
5. Kriptosporidosis internal kronis
6. Cytomegalovirus ( bukan hati,lien, atau kelenjar limfe )
7. Refinitis Cytomegalovirus ( gangguan penglihatan )
8. Enselopathy berhubungan dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV)
9. Herpes simpleks (ulkus kronis,bronchitis,pneumonitis / esofagitis )
10. Histoplamosis diseminata / ekstrapulmoner )
11. Isoproasis intestinal yang kronis
12. Sarkoma Kaposi
13. Limpoma Burkit , Imunoblastik, dan limfoma primer otak
14. Kompleks mycobacterium avium ( M.kansasi yang diseminata / ekstrapulmoner
15. M.Tubercolusis pada tiap lokasi (pulmoner / ekstrapulmoner )
16. Mycobacterium, spesies lain,diseminata / ekstrapulmoner
17. Pneumonia Pneumocystic Cranii
18. Pneumonia Rekuren
19. Leukoenselophaty multifokal progresiva
20. Septikemia salmonella yang rekuren
21. Toksoplamosis otak
22. Sindrom pelisutan akibat Human Immunodeficiency Virus ( HIV)

5. Gejala Dan Tanda

Pasien AIDS secara khas punya riwayat gejala dan tanda penyakit. Pada infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) primer akut yang lamanya 1 – 2 minggu pasien akan merasakan sakit seperti flu. Dan disaat fase supresi imun simptomatik (3 tahun) pasien akan mengalami demam, keringat dimalam hari, penurunan berat badan, diare, neuropati, keletihan ruam kulit, limpanodenopathy, pertambahan kognitif, dan lesi oral.

Dan disaat fase infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) menjadi AIDS (bevariasi 1-5 tahun dari pertama penentuan kondisi AIDS) akan terdapat gejala infeksi opurtunistik, yang paling umum adalah Pneumocystic Carinii (PCC), Pneumonia interstisial yang disebabkan suatu protozoa, infeksi lain termasuk menibgitis, kandidiasis, cytomegalovirus, mikrobakterial, atipikal

1. infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)

Acut gejala tidak khas dan mirip tanda dan gejala penyakit biasa seperti demam berkeringat, lesu mengantuk, nyeri sendi, sakit kepala, diare, sakit leher, radang kelenjar getah bening, dan bercak merah ditubuh.

2. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) tanpa gejala

Diketahui oleh pemeriksa kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam darah akan diperoleh hasil positif.

3. Radang kelenjar getah bening menyeluruh dan menetap, dengan gejala pembengkakan kelenjar getah bening diseluruh tubuh selama lebih dari 3 bulan.

6. Komplikasi

a. Oral Lesi

Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral,nutrisi,dehidrasi,penurunan berat badan, keletihan dan cacat.

b. Neurologik

- kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi social.

- Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala, malaise, demam, paralise, total / parsial.

-. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik, dan maranik endokarditis.

- Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human Immunodeficienci Virus (HIV)

c. Gastrointestinal

- Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan,anoreksia,demam,malabsorbsi, dan dehidrasi.

- Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.

- Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan siare.

d. Respirasi

Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas pendek,batuk,nyeri,hipoksia,keletihan,gagal nafas.

e. Dermatologik

Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,gatal,rasa terbakar,infeksi skunder dan sepsis.

f. Sensorik

- Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan

- Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek nyeri.

7. Penatalaksanaan

Belum ada penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan pencegahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah terpajannya Human Immunodeficiency Virus (HIV), bisa dilakukan dengan :

- Melakukan abstinensi seks / melakukan hubungan kelamin dengan pasangan yang tidak terinfeksi.

- Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks terakhir yang tidak terlindungi.

- Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang tidak jelas status Human Immunodeficiency Virus (HIV) nya.

- Tidak bertukar jarum suntik,jarum tato, dan sebagainya.

- Mencegah infeksi kejanin / bayi baru lahir.

Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terpinya yaitu :

1. Pengendalian Infeksi Opurtunistik

Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.

2. Terapi AZT (Azidotimidin)

Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3

3. Terapi Antiviral Baru

Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah :

– Didanosine

– Ribavirin

– Diedoxycytidine

– Recombinant CD 4 dapat larut

4. Vaksin dan Rekonstruksi Virus

Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.

5. Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-makanan sehat,hindari stress,gizi yang kurang,alcohol dan obat-obatan yang mengganggu fungsi imun.
6. Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Riwayat Penyakit

Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan imun. Umur kronologis pasien juga mempengaruhi imunokompetens. Respon imun sangat tertekan pada orang yang sangat muda karena belum berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia, atropi kelenjar timus dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Banyak penyakit kronik yang berhubungan dengan melemahnya fungsi imun. Diabetes meilitus, anemia aplastik, kanker adalah beberapa penyakit yang kronis, keberadaan penyakit seperti ini harus dianggap sebagai factor penunjang saat mengkaji status imunokompetens pasien. Berikut bentuk kelainan hospes dan penyakit serta terapi yang berhubungan dengan kelainan hospes :

- Kerusakan respon imun seluler (Limfosit T )

Terapi radiasi,defisiensi nutrisi,penuaan,aplasia timik,limpoma,kortikosteroid,globulin anti limfosit,disfungsi timik congenital.

- Kerusakan imunitas humoral (Antibodi)

Limfositik leukemia kronis,mieloma,hipogamaglobulemia congenital,protein – liosing enteropati (peradangan usus)

b. Pemeriksaan Fisik (Objektif) dan Keluhan (Sujektif)

- Aktifitas / Istirahat

Gejala : Mudah lelah,intoleran activity,progresi malaise,perubahan pola tidur.

Tanda : Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi aktifitas ( Perubahan TD, frekuensi Jantun dan pernafasan ).

- Sirkulasi

Gejala : Penyembuhan yang lambat (anemia), perdarahan lama pada cedera.

Tanda : Perubahan TD postural,menurunnya volume nadi perifer, pucat / sianosis, perpanjangan pengisian kapiler.

- Integritas dan Ego

Gejala : Stress berhubungan dengan kehilangan,mengkuatirkan penampilan, mengingkari doagnosa, putus asa,dan sebagainya.

Tanda : Mengingkari,cemas,depresi,takut,menarik diri, marah.

- Eliminasi

Gejala : Diare intermitten, terus – menerus, sering dengan atau tanpa kram abdominal, nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi

Tanda : Feces encer dengan atau tanpa mucus atau darah, diare pekat dan sering, nyeri tekan abdominal, lesi atau abses rectal,perianal,perubahan jumlah,warna,dan karakteristik urine.

- Makanan / Cairan

Gejala : Anoreksia, mual muntah, disfagia

Tanda : Turgor kulit buruk, lesi rongga mulut, kesehatan gigi dan gusi yang buruk, edema

- Hygiene

Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS

Tanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.

- Neurosensoro

Gejala : Pusing, sakit kepala, perubahan status mental,kerusakan status indera,kelemahan otot,tremor,perubahan penglihatan.

Tanda : Perubahan status mental, ide paranoid, ansietas, refleks tidak normal,tremor,kejang,hemiparesis,kejang.

- Nyeri / Kenyamanan

Gejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit kepala,nyeri dada pleuritis.

Tanda : Bengkak sendi, nyeri kelenjar,nyeri tekan,penurunan rentan gerak,pincang.

- Pernafasan

Gejala : ISK sering atau menetap, napas pendek progresif, batuk, sesak pada dada.

Tanda : Takipnea, distress pernapasan, perubahan bunyi napas, adanya sputum.

- Keamanan

Gejala : Riwayat jatuh, terbakar,pingsan,luka,transfuse darah,penyakit defisiensi imun, demam berulang,berkeringat malam.

Tanda : Perubahan integritas kulit,luka perianal / abses, timbulnya nodul, pelebaran kelenjar limfe, menurunya kekuatan umum, tekanan umum.

-Seksualitas

Gejala : Riwayat berprilaku seks beresiko tinggi,menurunnya libido,penggunaan pil pencegah kehamilan.

Tanda : Kehamilan,herpes genetalia

- Interaksi Sosial

Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis,isolasi,kesepian,adanya trauma AIDS

Tanda : Perubahan interaksi

- Penyuluhan / Pembelajaran

Gejala : Kegagalan dalam perawatan,prilaku seks beresiko tinggi,penyalahgunaan obat-obatan IV,merokok,alkoholik.

c. Pemeriksaan Diagnostik

a. Tes Laboratorium

Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostic yang sebagian masih bersifat penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mendiagnosis Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memantau perkembangan penyakit serta responnya terhadap terapi Human Immunodeficiency Virus (HIV)

1. Serologis

- Tes antibody serum

Skrining Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan ELISA. Hasil tes positif, tapi bukan merupakan diagnosa

- Tes blot western

Mengkonfirmasi diagnosa Human Immunodeficiency Virus (HIV)

- Sel T limfosit

Penurunan jumlah total

- Sel T4 helper

Indikator system imun (jumlah <200>

- T8 ( sel supresor sitopatik )

Rasio terbalik ( 2 : 1 ) atau lebih besar dari sel suppressor pada sel helper ( T8 ke T4 ) mengindikasikan supresi imun.

- P24 ( Protein pembungkus Human ImmunodeficiencyVirus (HIV ) )

Peningkatan nilai kuantitatif protein mengidentifikasi progresi infeksi

- Kadar Ig

Meningkat, terutama Ig A, Ig G, Ig M yang normal atau mendekati normal

- Reaksi rantai polimerase

Mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel perifer monoseluler.

- Tes PHS

Pembungkus hepatitis B dan antibody, sifilis, CMV mungkin positif

2. Budaya

Histologis, pemeriksaan sitologis urine, darah, feces, cairan spina, luka, sputum, dan sekresi, untuk mengidentifikasi adanya infeksi : parasit, protozoa, jamur, bakteri, viral.

3. Neurologis

EEG, MRI, CT Scan otak, EMG (pemeriksaan saraf)

4. Tes Lainnya

1. Sinar X dada

Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap lanjut atau adanya komplikasi lain

2. Tes Fungsi Pulmonal

Deteksi awal pneumonia interstisial

3. Skan Gallium

Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk pneumonia lainnya.

4. Biopsis

Diagnosa lain dari sarcoma Kaposi

5. Brankoskopi / pencucian trakeobronkial

Dilakukan dengan biopsy pada waktu PCP ataupun dugaan kerusakan paru-paru

b. Tes Antibodi

Jika seseorang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka system imun akan bereaksi dengan memproduksi antibody terhadap virus tersebut. Antibody terbentuk dalam 3 – 12 minggu setelah infeksi, atau bisa sampai 6 – 12 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa orang yang terinfeksi awalnya tidak memperlihatkan hasil tes positif. Tapi antibody ternyata tidak efektif, kemampuan mendeteksi antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) dalam darah memungkinkan skrining produk darah dan memudahkan evaluasi diagnostic.

Pada tahun 1985 Food and Drug Administration (FDA) memberi lisensi tentang uji – kadar Human Immunodeficiency Virus (HIV) bagi semua pendonor darah atau plasma. Tes tersebut, yaitu :

1. Tes Enzym – Linked Immunosorbent Assay ( ELISA)

Mengidentifikasi antibody yang secara spesifik ditujukan kepada virus Human Immunodeficiency Virus (HIV). ELISA tidak menegakan diagnosa AIDS tapi hanya menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi atau pernah terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Orang yang dalam darahnya terdapat antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) disebut seropositif.

2. Western Blot Assay

Mengenali antibody Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan memastikan seropositifitas Human Immunodeficiency Virus (HIV)

3. Indirect Immunoflouresence

Pengganti pemeriksaan western blot untuk memastikan seropositifitas.

4. Radio Immuno Precipitation Assay ( RIPA )

Mendeteksi protein dari pada antibody.

c. Pelacakan Human Immunodeficiency Virus (HIV)

Penentuan langsung ada dan aktivitasnya Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk melacak perjalanan penyakit dan responnya. Protein tersebut disebut protein virus p24, pemerikasaan p24 antigen capture assay sangat spesifik untuk HIV – 1. tapi kadar p24 pada penderita infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) sangat rendah, pasien dengantiter p24 punya kemungkinan lebih lanjut lebih besar dari menjadi AIDS.

Pemeriksaan ini digunakan dengan tes lainnya untuk mengevaluasi efek anti virus. Pemeriksaan kultur Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau kultur plasma kuantitatif dan viremia plasma merupakan tes tambahan yang mengukur beban virus ( viral burden )

AIDS muncul setelah benteng pertahanan tubuh yaitu sistem kekebalan alamiah melawan bibit penyakit runtuh oleh virus HIV, dengan runtuhnya/hancurnya sel-sel limfosit T karena kekurangan sel T, maka penderita mudah sekali terserang infeksi dan kanker yang sederhana sekalipun, yang untuk orang normal tidak berarti. Jadi bukan AIDS nya sendiri yang menyebabkan kematian penderita, melainkan infeksi dan kanker yang dideritanya.

HIV biasanya ditularkan melalui hubungan seks dengan orang yang mengidap virus tersebut dan terdapat kontak langsung dengan darah atau produk darah dan cairan tubuh lainnya. Pada wanita virus mungkin masuk melalui luka atau lecet pada mulut rahim/vagina. Begitu pula virus memasuki aliran darah pria jika pada genitalnya ada luka/lecet. Hubungan seks melalui anus berisiko tinggi untuk terinfeksi, namun juga vaginal dan oral. HIV juga dapat ditularkan melalui kontak langsung darah dengan darah, seperti jarum suntik (pecandu obat narkotik suntikan), transfusi darah/produk darah dan ibu hamil ke bayinya saat melahirkan. Tidak ada bukti penularan melalui kontak sehari-hari seperti berjabat tangan, mencium, gels bekas dipakai penderita, handuk atau melalui closet umum, karena virus ini sangat rapuh.

Masa inkubasi/masa laten sangat tergantung pada daya tahan tubuh masing-masing orang, rata-rata 5-10 tahun. Selama masa ini orang tidak memperlihatkan gejala-gejala, walaupun jumlah HIV semakin bertambah dan sel T4 semakin menururn. Semakin rendah jumlah sel T4, semakin rusak sistem kekebalan tubuh.

Pada waktu sistem kekebalan tubuh sudah dalam keadaan parah, seseorang yang mengidap HIV/AIDS akan mulai menampakkan gejala-gejala AIDS.

posted by Iriyan Gunawan @ 7:35 PM

RUANG LINGKUP KMB

Oleh : F Sri Susilaningsih*







PENDAHULUAN



Keperawatan adalah profesi unik, profesi yang menangani respon manusia dalam menghadapi masalah kesehatan, dan secara esensial menyangkut kebutuhan dasar manusia, ini menempatkan art and science sama pentingnya.

Teori dan keterampilan keperawatan diaplikasikan pada manusia kadang-kadang kurang bias diprediksi (hasilnya). Ini terjadi bukan karena sains keperawatan tidak precise tetapi lingkup garapan keperawatan adalah respon manusia dan tidak ada ketentuan bahwa perilaku manusia akan sama dihadapkan pada stimulus yang sama. Human side dari keperawatan inilah yang disebut art atau kiat.



Nursing art berkenaan denagn ketrampilan-ketrampilan tehnis atau prosedur-prosedur tertentu sebagai bagian dari upaya keperawatan untuk membantu klien mengatasi masalah kesehatannya dan memenuhi kebutuhan dasarnya.

Perawat harus dapat mengkaji kapan suatu data menjadi indikasi adanya masalah, dan perlakuan seperti apa untuk mengatasi masalah tersebut. Oleh karenanya tehnik problem solving yang dikenal dengan proses keperawatan harus dikuasai karena ini merupakan bagian integral dari praktek keperawatan.



Keperawatan pada dasarnya adalah human science and human care ; dan caring menyangkut upaya memperlakukan klien secara manusiawi dan utuh sebagai manusia yang berbeda dari manusia lainnya (Watson,1985)



Konsep-konsep diatas , human science and human care dan atau art and science

Hanya akan dikenal dan dirasakan konsumen keperawatan melalui perwujudan praktek keperawatan, dan untuk itu dibutuhkan telaah tentang lingkup lingkup praktek keperawatan. Pada tulisan kali ini dikemukakan telaah lingkup praktek keperawatan medikal-bedah:substansi praktek keperawatan, lingkup intervensi dan konsekwensi profesionalnya.





KEPERAWATAN DAN PRAKTEK KEPERAWATAN



Keperawatan sebagaimana dirumuskan oleh American Nurses Association (1980), adalah Diagnosis and treatment of human responses to actual or potential health problem, rumusan ini menekankan bahwa dalam keperawatan dibutuhkan aktifitas untuk menelaah kondisi klien/pasien, menyimpulkan respon klien terhadap masalah yang dihadapinya; serta menentukan perlakuan keperawatan yang tepat untuk mengatasinya.

ICN (1987) merumuskan nursing sebagai



NURSING encompasses autonomous and collaborative care of individuals of all ages

,family, groups and communities, sick or well and in all settings. Nursing includes the

promotions of health, prevention of illness and the care of ill, disable and dying people.

Advocacy,promotion of save environment, research, participation in shaping health

Policy and in patient and health system management, and education are also key

Nursing roles.



Rumusan diatas menuntun makna bahwa intervensi keperawatan terhadap klien dilakukan secara otonom atau kolaboratif dengan lingkup intervensi nya adalah upaya-upaya promotif, preventif, restoratif dan rehabilitatif serta pendampingan klien dalam menghadapi kematian; melalui aktifitas-aktifitas pendampingan klien,mengupayakan lingkungan yang aman bagi klien, penelitian dan terlibat dalam menentukan kebijakan kesehatan yang menyangkut kepentingan pasien dan system kesehatan serta pendidikan.

Sedangkan OREM (2001) mendiskripsikan keperawatan keperawatan sebagai



Nursing has its special concern mans need for self-care action and the provision and

maintenance of it on a continuous basis in order to sustain life and health, recover

from disease and injury and cope with their effects. The condition that validates the

existence of a requirement for nursing in an adult is the absence of the ability to

maintain ………….self-care.



Dari deskripsi diatas, Orem menekankan pentingnya tindakan intervensi untuk mengutamakan kebutuhan seseorang akan self-care nya dan upaya yang terus menerus untuk mempertahankan kehidupan dan kesehatannya, pulih dari penyakit dan trauma serta mengatasi dampaknya. Pada orang dewasa bantuan keperawatan dibutuhkan bila seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan selfcare nya sehingga ybs tidak lagi dapat mempertahankan kondisi sehat, mengatasi penyakit dan dampak trauma.



Dari 3 deskripsi tentang keperawatan diatas, dapat dikemukakan bahwa unsur-unsur penting dalam keperawatan adalah ;

· Respon manusia terhadap masalah kesehatan baik actual maupun potensial

merupakan fokus telaahan keperawatan

· Kebutuhan dasar manusia, penyimpangan dan upaya pemenuhannya

merupakanlingkup garapan keperawatan

· Ketidak mampuan klien untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri (self-care

deficit) merupakan basis intervensi keperawatan , baik itu terjadi karena

meningkatnya tuntutan akan kemandirian atau menurunnya kemampuan untuk dapat

memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri.

· Meningkatnya tuntutan atau menurunnya kemampuan untuk pemenuhan kebutuhan

dasarnya dipengaruhi oleh fluktuasi kondisi ( sepanjang rentang sehat-sakit ) pada

tugas perkembangann tertentu ( sepanjang daur kehidupan)

.

Unsur-unsur penting dalam keperawatan tersebut sejalan dengan paradigma keperawatan yang menempatkan manusia sebagai core/focus sentral , sehingga siapapun dan bagaimanapun kondisi klien harus tetap diperlakukan secara manusiawi.





PRAKTEK KEPERAWATAN



Praktek keperawatan adalah perwujudan profesi, dalam hal ini adalah hubungan professional antara perawat-klien yang didasarkan pada kebutuhan dasar klien, intervensi keperawatan untuk membantu memenuhi kebutuhan dasar klien tersebut didasari oleh penalaran legal etis disertai dengan pendekatan yang manusiawi (humane). Intervensi tersebut dilakukan melalui kerjasama dengan klien, dengan atau tanpa kolaborasi denagn profesi kesehatan lain sesuai dengan lingkup wewenang dan tanggung jawabnya.



Intervensi (perlakuan) keperawatan dapat diwujudkan melalui upaya-upaya promotif yaitu membantu seseorang baik yang sehat maupun disable untuk meningkatkan level of

Wellness; preventif dalam hal ini adalah mencegah penyakit dan atau kecacatan, restoratif & rehabilitatif adalah asuhan selama kondisi sakit dan upaya pemulihannya, serta consolation of the dying yaitu pendampingan bagi klien yang menghadapi kematian

sehingga dapat melalui fase-fase kematian secara bermartabat dan tenang .



Jadi, praktek keperawatan merupakan serangkaian proses yang humanistic untuk melakukan diagnosis terhadap respon klien dalam menghadapi masalah kesehatan dan dampaknya terhadap terpenuhi tidaknya kebutuhan dasarnya, menentukan perlakuan keperawatan yang tepat melalui bantuan keperawatan baik bersifat total, parsial atau suportif-edukatif, menggunakan pendekatan proses keperawatan dan berpedoman pada standar asuhan dalam lingkup wewenang dan tanggung jawabnya .





LINGKUP PRAKTEK KEPERAWATAN MEDIKAL-BEDAH



Lingkup praktek keperawatan medikal-bedah merupakan bentuk asuhan keperawatan pada klien DEWASA yang mengalami gangguan fisiologis baik yang sudah nyata atau terprediksi mengalami gangguan baik karena adanya penyakit, trauma atau kecacatan. Asuhan keperawatan meliputi perlakuan terhadap individu untuk memperoleh kenyamanan; membantu individu dalam meningkatkan dan mempertahankan kondisi sehatnya; melakukan prevensi, deteksi dan mengatasi kondisi berkaitan dengan penyakit ; mengupayakan pemulihan sampai kliendapat mencapai kapasitas produktif tertingginya; serta membantu klien menghadapi kematian secara bermartabat.

Praktek keperawatan medikal bedah menggunakan langkah-langkah ilmiah pengkajian, perencanaan, implementasi dan evaluasi; dengan memperhitungkan keterkaitan komponen-komponen bio-psiko-sosial klien dalam merespon gangguan fisiologis sebagai akibat penyakit, trauma atau kecacatan.





LINGKUP KLIEN



Klien yang ditangani dalam praktek keperawatan medikal bedah adalah orang dewasa, dengan pendekatan “one-to-one basis”. Kategori “dewasa” berimplikasi pada penegmbangan yang dijalani sesuai tahapannya. Tugas-tugas perkembangan ini dapat berdampak pada perubahan peran dan respon psikososial selama klien mengalami masalah kesehatan, dan hal ini perlu menjadi pertimbangan perawat dalam melakukan kajian dan intervensi keperawatan. Pendekatan keperawatan harus memperhitungkan “level kedewasaan” klien yang ditangan, dengan demikian pe;ibatan dan pemberdayaan klien dalam proses asuhan merupakan hal penting, sesuai dengan kondisinya; ini berkenaan dengan “Self-caring capacities”





LINGKUP GARAPAN KEPERAWATAN



Untuk membahas lingkup garapan keperawatan medikal-bedah, kita perlu mengacu pada “focus telaahan – lingkup garapan dan basis intervensi keperawatan seperti telah dibahas pada bagian awal tulisan ini.

Fokus telaahan keperawatan adalah respon manusia dalam mengahdapi masalah kesehatan baik actual maupun potensial. Dalam lingkup keperawatan medikal bedah, masalah kesehatan ini meliputi gangguan fisiologis nyata atau potensial sebagai akibat adanya penyakit, terjadinya trauma maupun kecacatan berikut respon klien yang unik dari aspek-aspek bio-psiko-sosio-spiritual. Mengingat basis telaahan respon klien bersumber dari gangguan fisiologis, maka pemahaman akan patofisiologis atau mekanisme terjadinya gangguan dan (potensi) manifestasi klinis dari gangguan tersebut sangat mendasari lingkup garapan dan intervensi keperawatan.

Penyakit, trauma atau kecacatan sebagai masalah kesehatan yang dihadapi klien dapat bersumber atau terjadi pada seluruh system tubuh meliputi system-sistem persyrafan; endokrin; pernafasan; kardiovaskuler; pencernaan; perkemihan; muskuloskeletal; integumen; kekebalan tubuh; pendengaran ; penglihatan serta permasalahan-permasalahan yang dapat secara umum menyertai seluruh gangguan system yaitu issue-isue yang berkaitan dengan keganasan dan kondisi terminal.







Lingkup Garapan

Lingkup garapan keperawata adalah kebutuhan dasar manusia, penyimpangan dan intervensinya. Berangkat dari focus telaahan keperawatan medikal bedah diatas, lingkup garapan keperawatan medikal bedah adalah segala hambatan pemenuhan kebutuhan dasar yang terjadi karena perubahan fisiologis pada satu atau berbagai sistem tubuh; serta modalitas dan berbagai upaya untuk mengatasinya.

Guna menentukan berbagai hambatan pemenuhan kebutuhan dasar mansuai dan modalitas yang tepat waktu untuk mengatasinya dibutuhkan keterampilan berfikir logis dan kritis dalam mengkaji secara tepat kebutuhan dasar apa yang tidak terpenuhi, pada level serta kemungkinan penyebab apa (diagnosis keperawatan). Hal ini akan menentukan pada perlakuan (treatment) keperawatan, dan modalitas yang sesuai. Disibi dibutuhkan keterampilan teknis dan telaah legal etis.





Basis Intervensi

Dari focus telaahan dan lingkup garapan keperawatan medikal bedah yang sudah diuraikan sebelumya, basis intervensi keperawatan medikal bedah adalah ketidakmampuan klien (dewasa) untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri. (Self care deficit). Ketidakamampuan ini dapat terjadi karena ketidakseimbangan antara tuntutan kebutuhan (Self – care demand) dan kapasitas klien untuk memenuhinya (Self-care ability) sebagai akibat perubahan fisiologis pada satu atau berbagai system tubuh. Kondisi ini unik pada setiap individu karena kebuthan akan self-care (Self care requirement) dapat berbeda-beda, sehingga dibutuhkan integrasi keterampilan-keterampilan berfikir logis-kritis, teknis dan telaah legal-etis untuk menentukan bentuk intervensi keperawatan mana yang sesuai, apakah bantuan total, parsial atau suportif-edukatif yang dibutuhkan klien.





KONSEKUENSI PROFESIONAL



Menutup sementara tulisan ini ada berbagai konsekuensi logis yang masih harus dipikirkan sebagai acuan bagi praktisi kpeerawatan pada area keperawatan medikal bedah. Melihat kompleksitas focus telaahan, lingkup garapan dan basis intervensi area keperawatan medikal bedah dan konsekuensi profesionalnya perlu dirumuskan :

§ Standar performance untuk acuan kualitas asuhan

§ Kategori kwalifikasi perawat untuk menentukan kelayakannya sebagai praktisi

§ Sertifikasi dan lisensi keahlian yang senantiasa diperbaharui untuk memberi jaminan kemanan bagi pengguna jasa keperawatan.







* F. Sri Susilaningsih, Staf edukatif dan koordiantor bagian Keperawatan Medikal Bedah pada PSIK FK Unpad

























Kepustakaan



1. Luckmann & Sorensen, 1993, Medikal and Surgical Nursing; A. Psychophysiologic Approach, 4 th ed , Philadelphia : W.B. Saunders, CO.

2. Orem, 2001, Nursing : Concept at Practice, 6th ed, St. Louis; Mosby Inc.

3. American Nurses Association : A Statement of the Scope at Medical-Surgical Nursing Practice.

4. Dochtsmar and Grace, 2001, Current Issues in Nursing, St. Louis: Mosby Inc.

5. http://amsn.nurse.com/resource/curricul.htm, AMSN official Position Statement on; Identification of the Registered Nurse in the Work Place.

6. Http://www.nursing power.net/nursing/sps.html: ANA-Nursing’s Social Policy Statement.

7. Http://www.nursing world.org/ojin/topic 15/tpc 156.htm Skateboards at Nursing and Scope of practice of Registered nurses Performing Complimentary Therapies.







Possibly related posts: (automatically generated)

* Proses Keperawatan dan Kebutuhan Dasar Manusia (Panduan Praktikum)

Posted in Uncategorized
« Hello world!
HOSPITAL – BASED HOME CARE Sebagai Model Keutuhan dan Kesinambungan Pelayanan Kesehatan RS – Komunitas »

HIV

HIV (human immunodeficiency virus) adalah sebuah retrovirus yang menginfeksi sel sistem kekebalan tubuh manusia - terutama Sel T CD4+ dan makrofaga, komponen vital dari sistem sistem kekebalan tubuh "tuan rumah" - dan menghancurkan atau merusak fungsi mereka. Infeksi dari HIV menyebabkan pengurangan cepat dari sistem kekebalan tubuh, yang menyebabkan kekurangan imun. HIV merupakan penyebab dasar AIDS.

Dari hasil penelitian, semua penderita HIV/AIDS yang telah masuk ke dalam fasa seropositif, menunjukkan gejala hipotiroid.[1]
Daftar isi
[sembunyikan]

* 1 Perkenalan
* 2 Penularan
* 3 Struktur
* 4 Rujukan
* 5 Pranala luar
* 6 Lihat pula
* 7 Pranala luar

[sunting] Perkenalan

Istilah HIV telah digunakan sejak 1986 (Coffin et al., 1986) sebagai nama untuk retrovirus yang diusulkan pertama kali sebagai penyebab AIDS oleh Luc Montagnier dari Perancis, yang awalnya menamakannya LAV (lymphadenopathy-associated virus) (Barre-Sinoussi et al., 1983) dan oleh Robert Gallo dari Amerika Serikat, yang awalnya menamakannya HTLV-III (human T lymphotropic virus type III) (Popovic et al., 1984).
The phylogenetic tree of the SIV and HIV viruses.
(click on image for a detailed description.)

HIV adalah anggota dari genus lentivirus [1], bagian dari keluarga retroviridae [2] yang ditandai dengan periode latensi yang panjang dan sebuah sampul lipid dari sel-host awal yang mengelilingi sebuah pusat protein/RNA. Dua spesies HIV menginfeksi manusia: HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 adalah yang lebih "virulent" dan lebih mudah menular, dan merupakan sumber dari kebanyakan infeksi HIV di seluruh dunia; HIV-2 kebanyakan masih terkurung di Afrika barat (Reeves and Doms, 2002). Kedua spesies berawal di Afrika barat dan tengah, melompat dari primata ke manusia dalam sebuah proses yang dikenal sebagai zoonosis.

HIV-1 telah berevolusi dari sebuah simian immunodeficiency virus (SIVcpz) yang ditemukan dalam subspesies simpanse, Pan troglodyte troglodyte. HIV-2 merupakan spesies dari sebuah strain SIV yang berbeda, ditemukan dalam sooty mangabeys, monyet dunia lama Guinea-Bissau (Reeves and Doms, 2002).

Tiga grup dari HIV-1 telah diidentifikasi berdasarkan ekspresi genom viral yang disebut env, yaitu: M, N dan O. Grup env M merupakan genom yang paling banyak ditemukan dengan 8 perbedaan subtipe yang dipengaruhi faktor geografis, antara lain: B (di Amerika dan Eropa), A dan D (di Afrika), C (di Afrika dan Asia).

Infeksi susulan oleh subtipe yang berbeda, menimbulkan bentuk rekombinan sirkulasi[2] (bahasa Inggris: circulating recombinant form, CRF).

Bentuk rekombinan yang pertama kali ditemukan adalah rekombinan AG dari Afrika tengah dan barat, kemudian rekombinan AGI dari Yunani dan Siprus, rekombinan AB dari Rusia dan AE dari Asia tenggara. Meskipun demikian, prekursor CRF AE berupa tipe E masih belum ditemukan.

47% infeksi yang terjadi di seluruh belahan dunia merupakan subtipe C, 27% berupa CRF02_AG, 12,3% berupa subtipe B, 4% adalah subtipe D dan 4% merupakan CRF AE, sisa 5,7% terdiri dari subtipe dan CRF lain. Riset HIV terakhir 95% terfokus pada subtipe B, sedangkn beberapa laboratorium menggunakan subtipe C.
[sunting] Penularan

HIV menular melalui hubungan kelamin dan hubungan seks oral, atau melalui anus, transfusi darah, penggunaan bersama jarum terkontaminasi melalui injeksi obat dan dalam perawatan kesehatan, dan antara ibu dan bayinya selama masa hamil, kelahiran dan masa menyusui. UNAIDS transmission. Penggunaan pelindung fisik seperti kondom latex dianjurkan untuk mengurangi penularan HIV melalui seks. Belakangan ini, diusulkan bahwa penyunatan dapat mengurangi risiko penyebaran virus HIV [3], tetapi banyak ahli percaya bahwa hal ini masih terlalu awal untuk merekomendasikan penyunatan lelaki dalam rangka mencegah HIV [4].

Pada akhir tahun 2004 diperkirakan antara 36 hingga 44 juta orang yang hidup dengan HIV, 25 juta di antaranya adalah penduduk sub-Sahara Afrika. Perkiraan jumlah orang yang terinfeksi HIV di seluruh dunia pada tahun 2004 adalah antara 4,3 juta hingga 6,4 juta orang. (AIDS epidemic update December 2004).

Wabah ini tidak merata di wilayah-wilayan tertentu karena ada negara-negara yang lebih menderita daripada yang lainnya. Bahkan pada tingkatan negara pun ada perbedaan tingkatan infeksinya pada daerah-daerah yang berlainan. Jumlah orang yang hidup dengan HIV terus meningkat di semua bagian dunia, meskipun telah dilakukan berbagai langkah pencegahan yang ketat.

Sub-Sahara Afrika tetap merupakan daerah yang paling parah terkena HIV di antara kaum perempuan hamil pada usia 15-24 tahun di sejumlah negara di sana. Ini diduga disebabkan oleh banyaknya penyakit kelamin, praktek menoreh tubuh, transfusi darah, dan buruknya tingkat kesehatan dan gizi di sana (Bentwich et al., 1995). Pada tahun 2000, WHO memperkirakan bahwa 25% unit darah yang ditransfusikan di Afrika tidak dites untuk HIV, dan bahwa 10% infeksi HIV di benua itu terjadi lewat darah. [5].

Di Asia, wabah HIV terutama disebabkan oleh para pengguna obat bius lewat jarum suntik, hubungan seks baik antarpria maupun dengan pekerja seks komersial, dan pelanggannya, serta pasangan seks mereka. Pencegahannya masih kurang memadai.


[sunting] Struktur

HIV berbeda dalam struktur dengan retrovirus yang dijelaskan sebelumnya. Besarnya sekitar 120 nm dalam diameter (seper 120 milyar meter, kira-kira 60 kali lebih kecil dari sel darah merah) dan kasarnya "spherical"
Diagram of the HIV virus.
[sunting] Rujukan

1. ^ (en) Thyroid hormone: a "prime suspect" in human immunodeficiency virus (HIV/AIDS) patients?. Department of Human Physiology, College of Medical Sciences, University of Jos; Amadi K, Sabo AM, et al.. Diakses pada 31 Maret 2010
2. ^ (en) The Circulating Recombinant Forms (CRFs). Los Alamos National Laboratory. Diakses pada 2 April 2010

[sunting] Pranala luar

* Barré-Sinoussi, F., Chermann, J. C., Rey, F., Nugeyre, M. T., Chamaret, S., Gruest, J., Dauguet, C., Axler-Blin, C., Vezinet-Brun, F., Rouzioux, C., Rozenbaum, W. and Montagnier, L. (1983) Isolation of a T-lymphotropic retrovirus from a patient at risk for acquired immune deficiency syndrome (AIDS) Science 220, 868-871 PMID 6189183
* Bentwich, Z., Kalinkovich., A. and Weisman, Z. (1995) Immune activation is a dominant factor in the pathogenesis of African AIDS. Immunol. Today 16, 187-191 PMID 7734046
* Bukrinsky M, Adzhubei A. (1999) Viral protein R of HIV-1. Rev Med Virol 9, 39-49 PMID 10371671
* Campbell GR, Pasquier E, Watkins J, Bourgarel-Rey V, Peyrot V, Esquieu D, Barbier P, de Mareuil J, Braguer D, Kaleebu P, Yirrell DL, Loret EP. (2004) The glutamine-rich region of the HIV-1 Tat protein is involved in T-cell apoptosis. J. Biol. Chem. 279, 48197-48204 PMID 15331610
* Carr, J. K., Foley, B. T., Leitner, T., Salminen, M., Korber, B. and McCutchan, F. (1998) Reference Sequences Representing the Principal Genetic Diversity of HIV-1 in the Pandemic. In: Los Alamos National Laboratory (Ed) HIV Sequence Compendium, pp. 10-19
* Chan, D. C. and Kim, P. S. (1998) HIV entry and its inhibition. Cell 93, 681-684 PMID 9630213
* Coakley, E., Petropoulos, C. J. and Whitcomb, J. M. (2005) Assessing chemokine co-receptor usage in HIV. Curr Opin Infect Dis. 18, 9-15. PMID 15647694
* Coffin, J., Haase, A., Levy, J. A., Montagnier, L., Oroszlan, S., Teich, N., Temin, H., Toyoshima, K., Varmus, H., Vogt, P. and Weiss, R. A. (1986) What to call the AIDS virus? Nature 321, 10. PMID 3010128.
* Dybul, M., Fauci, A. S., Bartlett, J. G., Kaplan, J. E., Pau, A. K., and the Panel on Clinical Practices for Treatment of HIV. (2002) Guidelines for using antiretroviral agents among HIV-infected adults and adolescents. Ann Intern Med 137, 381-433 PMID 12617573.
* Gao, F., Bailes, E., Robertson, D. L., Chen, Y., Rodenburg, C. M., Michael, S. F., Cummins, L. B., Arthur, L. O., Peeters, M., Shaw, G. M., Sharp, P. M. and Hahn, B. H. (1999) Origin of HIV-1 in the chimpanzee Pantroglodytes troglodytes. Nature 397, 436-441 PMID 9989410
* Gelderblom, H. R. (1997) Fine structure of HIV and SIV. In: Los Alamos National Laboratory (Ed) HIV Sequence Compendium, 31-44.
* Kahn, J. O. and Walker, B. D. (1998) Acute Human Immunodeficiency Virus type 1 infection. N Engl J Med 331, 33-39 PMID 9647878.
* Kim JB, Sharp PA. (2001) Positive transcription elongation factor B phosphorylates hSPT5 and RNA polymerase II carboxyl-terminal domain independently of cyclin-dependent kinase-activating kinase. J. Biol. Chem. 276, 12317-12323 PMID 11145967
* Knight, S. C., Macatonia, S. E. and Patterson, S. (1990) HIV I infection of dendritic cells. Int Rev Immunol. 6,163-75 PMID 2152500
* Learmont JC, Geczy AF, Mills J, Ashton LJ, Raynes-Greenow CH, Garsia RJ, Dyer WB, McIntyre L, Oelrichs RB, Rhodes DI, Deacon NJ, Sullivan JS. (1999) Immunologic and virologic status after 14 to 18 years of infection with an attenuated strain of HIV-1. A report from the Sydney Blood Bank Cohort. N Engl J Med 340, 1715-1722 PMID 10352163
* Osmanov, S., Pattou, C., Walker, N., Schwardlander, B., Esparza, J. and the WHO-UNAIDS Network for HIV Isolation and Characterization. (2002) Estimated global distribution and regional spread of HIV-1 genetic subtypes in the year 2000. J. Acquir. Immune. Defic. Syndr. 29, 184-190 PMID 11832690
* Pollard, V. W. and Malim, M. H. (1998) The HIV-1 Rev protein. Annu Rev Microbiol. 52, 491-532 PMID 9891806
* Popovic, M., Sarngadharan, M. G., Read, E. and Gallo, R. C. (1984) Detection, isolation, and continuous production of cytopathic retroviruses (HTLV-III) from patients with AIDS and pre-AIDS. Science 224, 497-500 PMID 6200935
* Reeves, J. D. and Doms, R. W. (2002) Human immunodeficiency virus type 2. J. Gen. Virol. 83, 1253-1265 PMID 12029140
* Strebel, K (2003) Virus-host interactions: role of HIV proteins Vif, Tat, and Rev. AIDS 17 Suppl 4, S25-S34 PMID 15080177
* Thomson, M. M., Perez-Alvarez, L. and Najera, R. (2002) Molecular epidemiology of HIV-1 genetic forms and its significance for vaccine development and therapy. Lancet Infect Dis. 2, 461-71 PMID 12150845
* Xiao, H., Neuveut, C., Tiffany, H. L., Benkirane, M., Rich, E. A., Murphy, P. M. and Jeang, K. T. (2000) Selective CXCR4 antagonism by Tat: implications for in vivo expansion of coreceptor use by HIV-1. Proc. Natl. Acad. Sci. U. S. A. 97, 11466-11471 PMID 11027346
* Wyatt, R. and Sodroski, J. (1998) The HIV-1 envelope glycoproteins: fusogens, antigens, and immunogens. Science 280, 1884-1888 PMID 9632381
* Zheng, Y. H., Lovsin, N. and Peterlin, B. M. (2005) Newly identified host factors modulate HIV replication. Immunol Lett. 97, 225-234 PMID 15752562

[sunting] Lihat pula

* ARV
* Faktor NE
* Penularan kriminal HIV
* Orang HIV positif
* Tes HIV
* Daftar orang HIV-positif
* Post-exposure prophylaxis

[sunting] Pranala luar

* Virus Hiv Aids kini menjadi obat penyembuhan
* Aloe Vera Bisa Menghambat Infeksi HIV
* AIDS/HIV Education
* Continuing medical education about HIV for healthcare providers
* Declaration of Commitment on HIV/AIDS UN 2001
* FightAIDS@Home
* HIV/AIDS Treatment Information Service
* Genome (HIV-1)
* Genome (HIV-2)
* HIV/AIDS Education in Teacher Preparation Programs
* HIV InSite
* How Aids Works (with animation)
* Medecins Sans Frontieres/Doctors Without Borders HIV/AIDS Pages
* NIH/NIAD/DAIDS
* "The Molecules of HIV" information resource
* Unsafe Health Care and the HIV/AIDS Pandemic 2003
* (en)Innate Immune System Damage in Human Immunodeficiency Virus Type 1 Infection, Immunobiology Unit, MRC Centre for Inflammation, and Departments of Pathology and Chemistry, Edinburgh University, SARAH HOWIE, ROBERT RAMAGE, and TIM HEWSON
* (en) Binding of serum immunoglobulins to collagens in IgA nephropathy and HIV infection

Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/HIV"
Kategori: AIDS | Retrovirus | Penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual

ASKEP DHF

Askep DHF
( Asuhan Keperawatan pada Klien dengan DHF )

Pengertian DHF / Demam Berdarah

DHF atau dikenal dengan istilah demam berdarah adalah penyakit yang disebabkan oleh Arbovirus ( arthro podborn virus ) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes ( Aedes Albopictus dan Aedes Aegepty )
nyamuk aides aegepty

nyamuk aides aegepty

Menurut beberapa ahli pengertian DHF sebagai berikut:

Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegepty (Christantie Efendy,1995 ).

Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada anak dan orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam atau tanpa ruam. DHF sejenis virus yang tergolong arbo virus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegepty (betina) (Seoparman , 1990).

DHF adalah demam khusus yang dibawa oleh aedes aegepty dan beberapa nyamuk lain yang menyebabkan terjadinya demam. Biasanya dengan cepat menyebar secara efidemik. (Sir,Patrick manson,2001).

Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh virus yang ditularkan oleh nyamuk aedes aegepty (Seoparman, 1996).

Penyebab DHF

Penyebab DHF adalah Arbovirus ( Arthropodborn Virus ) melalui gigitan nyamuk Aedes ( Aedes Albopictus dan Aedes Aegepty )

Patofisiologi DHF

Virus akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypty. Pertama-tama yang terjadi adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal diseluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hyperemia tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati (Hepatomegali) dan pembesaran limpa (Splenomegali).

Kemudian virus akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah kompleks virus-antibody. Dalam sirkulasi akan mengaktivasi system komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a, dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat sebagai factor meningkatnya permeabilitas dinding kapiler pembuluh darah yang mengakibatkan terjadinya perembesan plasma ke ruang ekstra seluler.

Perembesan plasma ke ruang ekstra seluler mengakibatkan berkurangnya volume plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemia serta efusi dan renjatan (syok). Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit > 20 %) menunjukkan atau menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) plasma sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena.

Terjadinya trobositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi (protombin dan fibrinogen) merupakan faktor penyebab terjadinya perdarahan hebat , terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF.

Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler dibuktikan dengan ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan pericard yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus.

Setelah pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukkan kebocoran plasma telah teratasi, sehingga pemberian cairan intravena harus dikurangi kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya edema paru dan gagal jantung, sebaliknya jika tidak mendapatkan cairan yang cukup, penderita akan mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan.

Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung lama akan timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan baik. Gangguan hemostasis pada DHF menyangkut 3 faktor yaitu : perubahan vaskuler, trombositopenia dan gangguan koagulasi.

Pada otopsi penderita DHF, ditemukan tanda-tanda perdarahan hampir di seluruh tubuh, seperti di kulit, paru, saluran pencernaan dan jaringan adrenal.

Tanda dan Gejala DHF

Tanda dan gejala penyakit DHF adalah :

- Meningkatnya suhu tubuh

- Nyeri pada otot seluruh tubuh

- Nyeri kepala menyeluruh atau berpusat pada supra orbita, retroorbita

- Suara serak

- Batuk

- Epistaksis

- Disuria

- Nafsu makan menurun

- Muntah

- Ptekie

- Ekimosis

- Perdarahan gusi

- Muntah darah

- Hematuria masif

- Melena

Diagnosis DHF

Patokan WHO (1986) untuk menegakkan diagnosis DHF adalah sebagai berikut :

1) Demam akut, yang tetap tinggi selama 2 - 7 hari kemudian turun secara lisis demam disertai gejala tidak spesifik, seperti anoreksia, lemah, nyeri.

2) Manifestasi perdarahan :
1) Uji tourniquet positif
2) Petekia, purpura, ekimosis
3) Epistaksis, perdarahan gusi
4) Hematemesis, melena.

3) Pembesaran hati yang nyeri tekan, tanpa ikterus.

4) Dengan atau tanpa renjatan.
Renjatan biasanya terjadi pada saat demam turun (hari ke-3 dan hari ke-7 sakit ). Renjatan yang terjadi pada saat demam biasanya mempunyai prognosis buruk.

5) Kenaikan nilai Hematokrit / Hemokonsentrasi

Klasifikasi DHF menurut WHO

Derajat I

Demam disertai gejala tidak khas, terdapat manifestasi perdarahan ( uju tourniquet positif )

Derajat II

Derajat I ditambah gejala perdarahan spontan dikulit dan perdarahan lain.

Derajat III

Kegagalan sirkulasi darah, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun ( 20 mmhg, kulit dingin, lembab, gelisah, hipotensi )

Derajat IV

Nadi tak teraba, tekanan darah tak dapat diukur

Pemeriksaan Diagnostik

- Darah Lengkap = Hemokonsentrasi ( Hemaokrit meningkat 20 % atau lebih ) Thrombocitopeni ( 100. 000/ mm3 atau kurang )

- Serologi = Uji HI ( hemaaglutinaion Inhibition Test )

- Rontgen Thorac = Effusi Pleura

Pathways

Askep DHF

Askep DHF

Penatalaksanaan

Medik

A. DHF tanpa Renjatan

- Beri minum banyak ( 1 ½ - 2 Liter / hari )

- Obat anti piretik, untuk menurunkan panas, dapat juga dilakukan kompres

- Jika kejang maka dapat diberi luminal ( antionvulsan ) untuk anak <1th dosis 50 mg Im dan untuk anak >1th 75 mg Im. Jika 15 menit kejang belum teratasi , beri lagi luminal dengan dosis 3mg / kb BB ( anak <1th dan pada anak >1th diberikan 5 mg/ kg BB.

- Berikan infus jika terus muntah dan hematokrit meningkat

B. DHF dengan Renjatan

- Pasang infus RL

- Jika dengan infus tidak ada respon maka berikan plasma expander ( 20 - 30 ml/ kg BB )

- Tranfusi jika Hb dan Ht turun

Keperawatan

1. Pengawasan tanda - tanda vital secara kontinue tiap jam

- Pemeriksaan Hb, Ht, Trombocyt tiap 4 Jam

- Observasi intik output

- Pada pasienDHF derajat I : Pasien diistirahatkan, observasi tanda vital tiap 3 jam , periksa Hb, Ht, Thrombosit tiap 4 jam beri minum 1 ½ liter - 2 liter per hari, beri kompres

- Pada pasien DHF derajat II : pengawasan tanda vital, pemeriksaan Hb, Ht, Thrombocyt, perhatikan gejala seperti nadi lemah, kecil dan cepat, tekanan darah menurun, anuria dan sakit perut, beri infus.

- Pada pasien DHF derajat III : Infus guyur, posisi semi fowler, beri o2 pengawasan tanda - tanda vital tiap 15 menit, pasang cateter, obsrvasi productie urin tiap jam, periksa Hb, Ht dan thrombocyt.

1. Resiko Perdarahan

- Obsevasi perdarahan : Pteckie, Epistaksis, Hematomesis dan melena

- Catat banyak, warna dari perdarahan

- Pasang NGT pada pasien dengan perdarahan tractus Gastro Intestinal

2. Peningkatan suhu tubuh

- Observasi / Ukur suhu tubuh secara periodik

- Beri minum banyak

- Berikan kompres
Asuhan Keperawatan pada pasien DHF

Pengkajian

Pengkajian Keperawatan DHF

Dalam memberikan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama dan hal penting dilakukan oleh perawat. Hasil pengkajian yang dilakukan perawat terkumpul dalam bentuk data. Adapun metode atau cara pengumpulan data yang dilakukan dalam pengkajian : wawancara, pemeriksaan (fisik, laboratorium, rontgen), observasi, konsultasi.
a). Data subyektif
Adalah data yang dikumpulkan berdasarkan keluhan pasien atau keluarga pada pasien DHF, data obyektif yang sering ditemukan menurut Christianti Effendy, 1995 yaitu :
1.) Lemah.
2.) Panas atau demam.
3.) Sakit kepala.
4.) Anoreksia, mual, haus, sakit saat menelan.
5.) Nyeri ulu hati.
6.) Nyeri pada otot dan sendi.
7.) Pegal-pegal pada seluruh tubuh.
8.) Konstipasi (sembelit).
b). Data obyektif :
Adalah data yang diperoleh berdasarkan pengamatan perawat atas kondisi pasien. Data obyektif yang sering dijumpai pada penderita DHF antara lain :
1) Suhu tubuh tinggi, menggigil, wajah tampak kemerahan.
2) Mukosa mulut kering, perdarahan gusi, lidah kotor.
3) Tampak bintik merah pada kulit (petekia), uji torniquet (+), epistaksis, ekimosis,

hematoma, hematemesis, melena.
4) Hiperemia pada tenggorokan.
5) Nyeri tekan pada epigastrik.
6) Pada palpasi teraba adanya pembesaran hati dan limpa.
7) Pada renjatan (derajat IV) nadi cepat dan lemah, hipotensi, ekstremitas dingin,

gelisah, sianosis perifer, nafas dangkal.

Pemeriksaan laboratorium pada DHF akan dijumpai :

1) Ig G dengue positif.

2) Trombositopenia.

3) Hemoglobin meningkat > 20 %.

4) Hemokonsentrasi (hematokrit meningkat).

5) Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia, hiponatremia, hipokloremia.

Pada hari ke- 2 dan ke- 3 terjadi leukopenia, netropenia, aneosinofilia, peningkatan limfosit, monosit, dan basofil

1) SGOT/SGPT mungkin meningkat.

2) Ureum dan pH darah mungkin meningkat.

3) Waktu perdarahan memanjang.

4) Asidosis metabolik.

5) Pada pemeriksaan urine dijumpai albuminuria ringan.

Diagnosa Keperawatan DHF

Diagnosa keperawatan yang ditemukan pada pasien DHF (Christiante Effendy, 1995) yaitu :

1) Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia).

2) Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit.

3) Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia.

4) Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dinding plasma.

5) Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kondisi tubuh yang lemah.

6) Resiko terjadi syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan tubuh.

7) Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (pemasangan infus).

8 ) Resiko terjadi perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia.

9) Kecemasan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan perdarahan yang dialami pasien.

Perencanaan Keperawatan DHF
1) Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses penyakit (viremia).

Tujuan :
Suhu tubuh normal (36 - 370C).
Pasien bebas dari demam.
Intervensi :

1. Kaji saat timbulnya demam.
Rasional : untuk mengidentifikasi pola demam pasien.

2. Observasi tanda vital (suhu, nadi, tensi, pernafasan) setiap 3 jam.
Rasional : tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.

3. Anjurkan pasien untuk banyak minum (2,5 liter/24 jam.±7)
Rasional : Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak.

4. Berikan kompres hangat.
Rasional : Dengan vasodilatasi dapat meningkatkan penguapan yang mempercepat penurunan suhu tubuh.

5. Anjurkan untuk tidak memakai selimut dan pakaian yang tebal.
Rasional : pakaian tipis membantu mengurangi penguapan tubuh.

6. Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai program dokter.
Rasional : pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tinggi.

2). Nyeri berhubungan dengan proses patologis penyakit.

Tujuan :
Rasa nyaman pasien terpenuhi.
Nyeri berkurang atau hilang.
Intervensi :

1. Kaji tingkat nyeri yang dialami pasien
Rasional : untuk mengetahui berapa berat nyeri yang dialami pasien.

2. Berikan posisi yang nyaman, usahakan situasi ruangan yang tenang.
Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri

3. Alihkan perhatian pasien dari rasa nyeri.
Rasional : Dengan melakukan aktivitas lain pasien dapat melupakan perhatiannya terhadap nyeri yang dialami.

4. Berikan obat-obat analgetik
Rasional : Analgetik dapat menekan atau mengurangi nyeri pasien.

3). Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan

mual, muntah, anoreksia.
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan posisi yang diberikan /dibutuhkan.

Intervensi :

1. Kaji keluhan mual, sakit menelan, dan muntah yang dialami pasien.
Rasional : Untuk menetapkan cara mengatasinya.

2. Kaji cara / bagaimana makanan dihidangkan.
Rasional : Cara menghidangkan makanan dapat mempengaruhi nafsu makan pasien.

3. Berikan makanan yang mudah ditelan seperti bubur.
Rasional : Membantu mengurangi kelelahan pasien dan meningkatkan asupan makanan .

4. Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.
Rasional : Untuk menghindari mual.

5. Catat jumlah / porsi makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap hari.
Rasional : Untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan nutrisi.

6. Berikan obat-obatan antiemetik sesuai program dokter.
Rasional : Antiemetik membantu pasien mengurangi rasa mual dan muntah dan diharapkan intake nutrisi pasien meningkat.

7. Ukur berat badan pasien setiap minggu.
Rasional : Untuk mengetahui status gizi pasien

4). Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas

dinding plasma.
Tujuan :
Volume cairan terpenuhi.
Intervensi :

1. Kaji keadaan umum pasien (lemah, pucat, takikardi) serta tanda-tanda vital.
Rasional : Menetapkan data dasar pasien untuk mengetahui penyimpangan dari keadaan normalnya.

2. Observasi tanda-tanda syock.
Rasional : Agar dapat segera dilakukan tindakan untuk menangani syok.

3. Berikan cairan intravena sesuai program dokter
Rasional : Pemberian cairan IV sangat penting bagi pasien yang mengalami kekurangan cairan tubuh karena cairan tubuh karena cairan langsung masuk ke dalam pembuluh darah.

4. Anjurkan pasien untuk banyak minum.
Rasional : Asupan cairan sangat diperlukan untuk menambah volume cairan tubuh.

5. Catat intake dan output.
Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan cairan.

5). Gangguan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan kondisi tubuh yang lemah.

Tujuan :
Pasien mampu mandiri setelah bebas demam.
Kebutuhan aktivitas sehari-hari terpenuhi
Intervensi :

1. Kaji keluhan pasien.
Rasional : Untuk mengidentifikasi masalah-masalah pasien.

2. Kaji hal-hal yang mampu atau yang tidak mampu dilakukan oleh pasien.
Rasional : Untuk mengetahui tingkat ketergantungan pasien dalam memenuhi kebutuhannya.

3. Bantu pasien untuk memenuhi kebutuhan aktivitasnya sehari-hari sesuai tingkat keterbatasan pasien.
Rasional : Pemberian bantuan sangat diperlukan oleh pasien pada saat kondisinya lemah dan perawat mempunyai tanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari pasien tanpa mengalami ketergantungan pada perawat.

4. Letakkan barang-barang di tempat yang mudah terjangkau oleh pasien.
Rasional : Akan membantu pasien untuk memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan orang lain.

6). Resiko terjadinya syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan

Tubuh

Tujuan :
Tidak terjadi syok hipovolemik.
Tanda-tanda vital dalam batas normal.
Keadaan umum baik.
Intervensi :

1. Monitor keadaan umum pasien
Rasional : memantau kondisi pasien selama masa perawatan terutama pada saat terjadi perdarahan sehingga segera diketahui tanda syok dan dapat segera ditangani.

2. Observasi tanda-tanda vital tiap 2 sampai 3 jam.
Rasional : tanda vital normal menandakan keadaan umum baik.

3. Monitor tanda perdarahan.
Rasional : Perdarahan cepat diketahui dan dapat diatasi sehingga pasien tidak sampai syok hipovolemik.

4. Chek haemoglobin, hematokrit, trombosit
Rasional : Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah yang dialami pasien sebagai acuan melakukan tindakan lebih lanjut.

5. Berikan transfusi sesuai program dokter.
Rasional : Untuk menggantikan volume darah serta komponen darah yang hilang.

6. Lapor dokter bila tampak syok hipovolemik.
Rasional : Untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut sesegera mungkin.

7). Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (infus).

Tujuan :

Tidak terjadi infeksi pada pasien.
Intervensi :

1. Lakukan teknik aseptik saat melakukan tindakan pemasangan infus.
Rasional : Tindakan aseptik merupakan tindakan preventif terhadap kemungkinan terjadi infeksi.

2. Observasi tanda-tanda vital.
Rasional : Menetapkan data dasar pasien, terjadi peradangan dapat diketahui dari penyimpangan nilai tanda vital.

3. Observasi daerah pemasangan infus.
Rasional : Mengetahui tanda infeksi pada pemasangan infus.

4. Segera cabut infus bila tampak adanya pembengkakan atau plebitis.
Rasional : Untuk menghindari kondisi yang lebih buruk atau penyulit lebih lanjut.

8). Resiko terjadinya perdarahan lebih lanjut berhubungan dengan trombositopenia.

Tujuan :
Tidak terjadi tanda-tanda perdarahan lebih lanjut.
Jumlah trombosit meningkat.
Intervensi :

1. Monitor tanda penurunan trombosit yang disertai gejala klinis.
Rasional : Penurunan trombosit merupakan tanda kebocoran pembuluh darah.

2. Anjurkan pasien untuk banyak istirahat
Rasional : Aktivitas pasien yang tidak terkontrol dapat menyebabkan perdarahan.

3. Beri penjelasan untuk segera melapor bila ada tanda perdarahan lebih lanjut.
Rasional : Membantu pasien mendapatkan penanganan sedini mungkin.

4. Jelaskan obat yang diberikan dan manfaatnya.
Rasional : Memotivasi pasien untuk mau minum obat sesuai dosis yang diberikan.

9). Kecemasan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan perdarahan

yang dialami pasien.
Tujuan :

Kecemasan berkurang.
Intervensi :

1. Kaji rasa cemas yang dialami pasien.
Rasional : Menetapkan tingkat kecemasan yang dialami pasien.

2. Jalin hubungan saling percaya dengan pasien.
Rasional : Pasien bersifat terbuka dengan perawat.

3. Tunjukkan sifat empati
Rasional : Sikap empati akan membuat pasien merasa diperhatikan dengan baik.

4. Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaannya
Rasional : Meringankan beban pikiran pasien.

5. Gunakan komunikasi terapeutik
Rasional : Agar segala sesuatu yang disampaikan diajarkan pada pasien memberikan hasil yang efektif.

4. Implementasi

Pelaksanaan tindakan keperawatan pada klien anak dengan DHF disesuaikan dengan intervensi yang telah direncanakan.

5. Evaluasi Keperawatan.

Hasil asuhan keperawatan pada klien anak dengan DHF sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi ini didasarkan pada hasil yang diharapkan atau perubahan yang terjadi pada pasien.

Adapun sasaran evaluasi pada pasien demam berdarah dengue sebagai berikut :

1) Suhu tubuh pasien normal (36- 370C), pasien bebas dari demam.

2) Pasien akan mengungkapkan rasa nyeri berkurang.

3) Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang diberikan atau dibutuhkan.

4) Keseimbangan cairan akan tetap terjaga dan kebutuhan cairan pada pasien terpenuhi.

5) Aktivitas sehari-hari pasien dapat terpenuhi.

6) Pasien akan mempertahankan sehingga tidak terjadi syok hypovolemik dengan tanda vital dalam batas normal.

7) Infeksi tidak terjadi.

8 ) Tidak terjadi perdarahan lebih lanjut.

9) Kecemasan pasien akan berkurang dan mendengarkan penjelasan dari perawat tentang proses penyakitnya.

Pencegahan DHF

Menghindari atau mencegah berkembangnya nyamuk Aedes Aegepty dengan cara:

- Rumah selalu terang

- Tidak menggantung pakaian

- Bak / tempat penampungan air sering dibersihkan dan diganti airnya minimal 4 hari sekali

- Kubur barang - barang bekas yang memungkinkan sebagai tempat terkumpulnya air hujan

- Tutup tempat penampungan air

Perencanaan pemulangan dan pendidikan kesehatan

- Berikan informasi tentang kebutuhan melakukan aktifitas sesuai dengan tingkat perkembangan dan kondisi fisik anak

- Jelaskan terapi yang diberikan, dosis efek samping

- Menjelaskan gejala - gejala kekambuhan penyakit dan hal yang harus dilakukan untuk mengatasi gejala

- Tekankan untuk melakukan kontrol sesuai waktu yang ditentukan

Daftar Pustaka

Buku ajar IKA infeksi dan penyakit tropis IDAI Edisi I. Editor : Sumarmo, S Purwo Sudomo, Harry Gama, Sri rejeki Bag IKA FKUI jkt 2002.

Christantie, Effendy. SKp, Perawatan Pasien DHF. Jakarta, EGC, 1995

Prinsip - Prinsip Keperawatan Nancy Roper hal 269 - 267
Artikel yang Berhubungan

Dehidrasi

Cara Mengukur Denyut Nadi

Kumpulan Askep

Kompres Hangat

Gangguan Pengaturan Suhu Tubuh
Tags: askep DHF, asuhan keperawatan DHF, demam, demam berdarah, dengue haemorhagic fever

makanan sehat

Makanan Untuk Memperkuat Ingatan

1. Ikan laut seperti tuna, makarel dan sarden bermanfaat karena mengandung asam lemak omega-3 (DHA) dan vitamin B6/B3/B12.
Minyak ikan yang merupakan ekstrak ikan bisa dipakai sebagai alternatif bagi yang tidak menyukai rasa "amis" dari ikan laut.
Minyak ikan banyak dijual di apotik-apotik dalam bentuk kapsul transparan.
2. Daging sapi tanpa lemak, telur dan kedelai mengandung lesitin, fenilalanin.
Telur dan kedelai juga mengandung vitamin B6 dan E.
3. Hati Ayam mengandung terosin, vitamin A/B1/B6/B12, protein dan zat besi.
4. Ayam mengandung fenilalamin,vitamin B3/B6, dan protein.
5. Pisang mengandung tirosin, vit. B6, magnesium dan potasium.
6. Produk Susu Rendah Lemak mengandung fenilalamin,tirosin, glutamin, protein, ALC dan vitamin B12.
7. Avokad mengandung tirosin dan magnesium.


Perlu disadari bahwa makanan tersebut diatas lebih disarankan untuk balita sampai remaja.
Untuk dewasa sebaiknya jumlah konsumsinya di kontrol karena sebagian dari makanan diatas mengandung kalesterol yang tinggi.
Mengatur makanan untuk stimulasi otak
Asam amino esensial sangat penting untuk otak.
Ada dua asam amino yang mempengaruhi kerja otak yaitu asam amino TRITOFAN dan TIROSIN.

Asam amino Tritofan berasal dari karbohidrat menstimulasi senyawa tubuh yang berfungsi sebagai penenang bagi saraf otak, membuat saraf menjadi santai dan akhirnya menyebabkan ngantuk.
Sedangkan asam amino Tirosin yang berasal dari protein menstimulasi senyawa tubuh yang merangsang otak untuk tetap terjaga, menyebabkan konsentrasi tetap baik.

Makanan yang mengandung karbohidrat adalah nasi, gandum dan ketela pohon, sedangkan yang mengandung protein adalah daging tanpa lemak, telor, ikan, dan tempe.

Adalah baik mengatur pola makan sesuai dengan aktifitas yang akan dilakukan setelah makan.
Bila anda merencanakan untuk tidur setelah makan maka perbanyaklah porsi karbohidratnya dan sebaliknya bila anda memerlukan otak yang selalu siaga setelah makan maka perbanyaklah porsi proteinnya atau makan terlebih dahulu makanan yang mengandung protein sebelum mengunyah makanan yang mengandung karbohidrat.
Hal ini dilakukan agar asam amino hasil pencernaan protein dapat mencapai otak mendahului asam amino hasil pencernaan karbohidrat.
Otak Juga Bisa Lapar
Jika tubuh kurang nutrisi yang kita rasakan adalah lapar. Tapi apa yang kita rasakan bila otak "kelaparan" ?

Tubuh perlu suapan nurisi, jika tubuh tidak cukup mendapatkan makanan untuk menghasilkan energi maka otak akan menjadi organ tubuh pertama yang menderita. Ini karena otak tidak mempunyai tempat penyimpanan cadangan energi seperti halnya otot.
Karena itulah bisa dikatakan bahwa otak adalah bagian tubuh yang mudah "kelaparan" dibandingkan organ tubuh yang lain.

Kebutuhan otak akan glukosa (gula) dan oksigen, bisa sepuluh kali lipat dari pada organ lain. Jika kandungan glukosa (gula) dalam darah turun dratis, otak akan menarik suplai glukosa untuk organ lain, hal ini menyebabkan mata berkunang-kunang dan susah berkonsentrasi.

Oleh karena itulah perlu dibiasakan agar anak selalu sarapan pagi untuk menjaga kemampuan konsentrasinya tetap baik dipagi hari.
Bercakap-cakap Dengan Balita
Lesley Smith – ahli perkembangan jiwa anak Inggris berpendapat bahwa sebagian balita belajar tentang hidup dalam tahun pertama dan kedua tanpa disadari oleh orangtuanya.
Saat diajak bercakap-cakap, bayi memperhatikan dan benar-benar menyerap setiap ekspresi wajah, setiap kata yang diucapkan dan setiap perhatian yang diberikan meskipun bayi baru berusia satu bulan.
Tidak ada tanggapan dari bayi bukanlah berarti bayi tidak belajar.
Anggapan bahwa bayi tidak belajar apapun sampai ia mulai dapat tersenyum adalah penilaian yang salah.
Bayi berpikir tentang sekitarnya tepat pada saat ia dilahirkan.
Bayi usia 1 bulan yang baru melihat sedikit, berjuang untuk mengatur apa yang dilihatnya.

Menurut Lesley, sebuah percobaan yang dilakukan pada bayi usia 2 bulan :
Bayi ditaruh dalam ruangan yang gelap dengan sebuah proyektor. Setiap kali sinar memancar dari layar didepan, bayi tersebut mengerakkan kepala menuju arah sinar, hal ini berkelanjutan.
Dengan melambaikan deringan mainan atau berbicara kepadanya, membantu bayi mengembangkan daya tangkap, melatih otaknya dan mengatur pikirannya, menumbuhkan keyakinan pada bayi untuk menggali lingkungannya.

Ada kalanya Lesley melihat para ayah tidak berusaha untuk perduli dengan bayi. Mereka membayangkan bayi tersebut amat rapuh untuk digendong.
Mereka bahkan yakin bahwa perhatian seorang ibu sudah cukup memadai dalam beberapa bulan pertama setelah melahirkan.
Padahal keikut sertaan ayah dalam memberikan perhatian membantu bayi belajar lebih cepat.
Jika bayi merasa orang disekitarnya menyenangi kehadirannya, keyakinan bayi untuk belajar akan meningkat.
Lesley benci terhadap orangtua yang menghukum bayinya bila menangis dengan mengambil susunya atau memukul telapak tangannya bila bayi menimbulkan sedikit kerusakan. (Lagi pula berapa banyak kerusakan yang dapat dibuat oleh bayi berusia 4 bulan?). Mereka tidak tahu yang baik dan salah.

Orangtua harus mengijinkan bayi untuk melakukan sesuatu sehingga bayi merasa senang.
Setiap hal adalah baru bagi mereka.
Mereka hanya ingin tahu apa sebenarnya kehidupan.
Cinta kasih, perhatian yang penuh dan kesabaran akan membentuk anak.
Pemikiran yang sehat, penampilan dan keyakinan diri adalah pembentuk anak yang berintelligencia tinggi.








Program Gizi
Masalah Vitamin A




Written by Administrator
Masalah kekurangan vitamin A adalah masalah gizi yang sudah diketahui sejak lama. Tanda-tanda dini kekurangan vitamin A ini adalah buta senja, dimana anak-anak tidak dapat melihat dalam suasana remang-remang.
Produk bahan makanan yang sudah difortifikasi dengan vitamin A adalah margarine.

Garam beriodium




Written by Administrator
Garam Fortifikasi tripel Atasi Kurang Gizi
Kurang gizi menjadi masalah besar, terutama di kalangan masyarakat miskin Indonesia. Garam bervitamin A, iodium, dan zat besi bisa dicoba sebagai solusi.

Seorang pejabat negara pernah berkomentar bahwa kasus kekurangan gizi tidak mungkin terjadi di Indonesia. Faktanya, di tahun 2000, data Departemen Kesehatan mencatat, jumlah balita kurang gizi mencapai 5.014.997 orang. Dua tahun berikutnya, organisasi dunia untuk pendidikan dan anak-anak (UNICEF) melaporkan 23,5 juta balita di Indonesia menderita gizi buruk.

Selain soal gizi makro, kekurangan gizi mikro seperti zat besi, iodium, vitamin A, serta mineral lain juga begitu memprihatinkan. Contohnya, tahun 2000, Depkes menyatakan sekitar 9.026.825 balita mengalami defisiensi vitamin A.


Sumber: Senior

Read more...


Gizi




Written by Administrator
Gizi berasal dari bahasa Arab 'Gizza', yang berarti makanan yang menyehatkan. dalam bahasa Inggeris terjemahannya adalah Nutrition. Zat gizi dikenal juga dengan sebutan nutrient.
Adapun istilah gizi dapat digunakan untuk zat yang terkandung dalam bahan makanan. Hanya saja untuk Indonesia sebaiknya dihindarkan pengunaan kata nutrisi, karena untuk ternak juga digunakan istilah nutrisi ternak. Jadi kalau untuk 'Human Nutrition' terjemahan yang sudah baku adalah Gizi. Oleh karena itu, kalau kita bicara tentang gizi pasti bicara gizi manusia, tetapi kalau kita bicara nutris, bisa berkaitan dengan nutrisi tanah, nutisi ternak dan lain sebagainya.


Prevalensi Anemia



Written by Administrator
Prevalensi Anemia dan Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kejadian Anemia pada Ibu Hamil di Daerah Gondok Endemik Kabupatan Magelang

By: Dhuta Widagdo
Balai Penelitian Penanggulangan Akibat Kekurangan Yodium, Badan Litbangkes.
Created: 2003

Keywords: Anemia; Ibu Hamil; Gondok; Abstrak Penelitian Kesehatan
Subject: ANEMIA; PREGNANCY
Anemia gizi masih merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia dengan prevalensi 50.4% (SKRT 1995). Anemia zat besi dipengaruhi oleh multifaktor tidak saja asupan zat besi yang kurang namun juga dipengaruhi oleh asupan zat gizi lain. Di daerah endemik gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY), kemungkinan prevalensi anemia ibu hamil lebih tinggi dari pada daerah non endemik GAKY, karena masyarakat yang tinggal di daerah ini cenderung defisiensi yodium. Dimana yodium adalah merupakan salah satu zat gizi yang berperan dalam metabolisme pembentukan Hb. Namun selain defisiensi yodium juga banyak faktor lain yang secara umum menjadi faktor risiko terjadinya anemia yaitu pola konsumsi.
Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui besar prevalensi anemia dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya anemia pada ibu hamil yang tinggal di daerah endemik GAKY. Yang dimaksud dengan prevalensi anemia pada penelitian ini adalah keadaan kadar Hb ibu hamil <11 g/dl, sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian anemia adalah faktor sosial-ekonomi, inhibitor, enhancer dan infeksi parasit.

Rancangan penelitian adalah cross sectional. Responden pada penelitian ini adalah ibu hamil tanpa penyakit kronis yang tinggal di 20 desa wilayah Kecamatan Srumbung dan Salam. Dari hasil penapisan ditemukan ibu hamil sebanyak 364, setelah dilakukan skrining yang memenuhi kriteria sebanyak 337 ibu hamil. Selanjutnya ibu hamil yang memenuhi kriteria diambil sampel darah dan feses, dan ditindaklanjuti dengan pengambilan data sosek, sanitasi lingkungan, riwayat kehamilan, konsumsi inhibitor, dan enhancer.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi ibu hamil yang tinggal di daerah endemik GAKY sebesar 63,5% dengan rata-rata kadar Hb 10.88 +/- 1.38 g/dl. Asupan zat gizi ibu hamil untuk energi rata-rata 2239 +/- 77.82 kkal; protein rata-rata 58.77 +/- 0.89 gram, untuk vitamin C rata-rata 69.14 mg dan untuk zat besi rata-rata 9.58 mg. Pada saat penelitian ibu hamil yang telah mengkonsumsi kapsul yodium sebesar 58.8% (198 ibu hamil). Rata-rata asupan zat inhibitor ibu hamil untuk tanin 17.58 gram; fifat 0.98 gram dan aksalat 2.19 gram. Prevalensi kecacingan pada ibu hamil sebesar 62.75% (187 ibu hamil). Dengan analisa bivariat faktor-faktor yang berkolerasi signifikan dengan kejadian anemia adalah faktor pendidikan responden, asupan zat besi dan konsumsi tanin. Dengan analisa regresi liner faktor-faktor yang secara bersamaan berpengaruh signifikan terhadap kadar Hb adalah konsumsi yodium (asupan yodium), konsumsi tanin dan kecacingan.
Sumber: Research Report from JKPKBPPK / 2005-12-07, Badan Litbangkes.